Kamis, 10 Mei 2012

HUKUM BERBOHONG DALAM ISLAM



Berbohong secara tegas hukumnya haram berdasarkan nash Al-Qur’an yang qoth’i. Dan keharamanya termasuk persoalan-persoalan agama yang diketahui secara pasti. Tidak ada perbedaan antara berbohong demi kemaslahatan umat Islam, agama atau karena yang lain. Banyak nash menyatakan keharamannya secara umum, mutlak dan pasti serta tidak disertai illat. Allah berfirman;
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
"Sesungguhnya yang mengada-ada kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah" (Q.S. Al-Nahl: 105), dan ayat
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah[1] kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta(Q.S. Al-Imron: 61).
Larangan keras, mutlak dan umum ini tidak mempunyai ‘illat[2], dibatasi dan ditakhsis (dikhususkan) kecuali oleh nash yang lain. Peranan akal hanya untuk memahami nash, dan tidak lebih dari itu. Dan tak ditemukan nash yang menunjukkan penta’lilan atau pentaqyidan (pembatasan), baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Tetapi terdapat nash lain yang mentakhsis nash diatas...
Dalam nash tersebut ada beberapa kondisi tertentu yang dikecualikan dari keharaman berbohong, dan ini tidak boleh keluar dari yang telah disebutkan dalam beberapa hadits.
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِي خَيْرًا قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا
"Bukanlah termasuk pendusta orang yang mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, yang berkata demi kebaikan, dan yang membangkitkan (mengingatkan) kebaikan." lbnu Syihab (salah satu perawi hadits) berkata; ‘Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal, yaitu; dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami[3] (untuk meraih kebahagiaan atau menghindari keburukan) (HR. Muslim dari Ummu Kultsum)
Dari Asma binti Yazid, ia berkata; Rasulullah berkhutbah:
أَيُّهَا النَّاسُ مَا يَحْمِلُكُمْ عَلَى أَنْ تَتَابَعُوا فِي الْكَذِبِ كَمَا يَتَتَابَعُ الْفَرَاشُ فِي النَّارِ كُلُّ الْكَذِبِ يُكْتَبُ عَلَى ابْنِ آدَمَ إِلَّا ثَلَاثَ خِصَالٍ رَجُلٌ كَذَبَ عَلَى امْرَأَتِهِ لِيُرْضِيَهَا أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ فِي خَدِيعَةِ حَرْبٍ أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ بَيْنَ امْرَأَيْنِ مُسْلِمَيْنِ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمَا
"Wahai sekalian manusia, apa yang mendorong kalian ikut-ikutan berdusta sebagaimana anai-anai berebut ke api, setiap perbuatan dusta akan dicatat atas anak adam kecuali tiga hal; seorang suami yang berbohong kepada isterinya supaya isterinya ridla, atau seseorang yang berdusta dalam rangka strategi perang dan seseorang yang berbohong di antara kedua belah pihak dari kaum muslimin untuk mendamaikan keduanya." (HR. Ahmad dan at Thabrani)
Oleh sebab itu, berbohong hukumnya haram kecuali dalam tiga hal: 1) seseorang yang berbohong kepada istrinya demi ingin melihat istrinya senang, 2) seseorang yang berbohong dalam situasi perang, karena perang itu penuh muslihat dan 3) seseorang yang berbohong untuk mendamaikan mereka yang sedang bertikai". Ketiga hal ini adalah pengecualian dari keharaman berbohong dengan nash yang shohih. Maka tidak boleh berbohong selain 3 kasus diatas. Karena tidak ada pengecualian dari keumuman satu nash kecuali yang telah ditentukan oleh dalil. Kata -kata "saat perang" dalam hadits diatas hanya mempunyai makna satu, tidak lebih dari itu. Yaitu situasi perang nyata dalam persoalan perang. Maka sama sekali tidak diperbolehkan berbohong dalam keadaaan bukan perang.
Sementara riwayat yang menyatakan "bahwa Nabi ketika hendak berperang, beliau menyembunyikannya dengan yang lain", itu yang dimaksud adalah bahwa ketika menginginkan suatu hal, beliau tidak menampakkan hal itu. Seperti saat beliau berperang melalui arah timur, beliau malah bertanya tentang satu hal di arah barat dan bersiap-siap untuk melakukan perjalanan. Sehingga orang yang melihat dan mendengarnya menduga ia akan melewati arah barat. Dan tidak ada pernyataan yang tegas bahwa beliau ingin ke barat sementara maksudnya ke timur, artinya beliau tidak memberikan informasi yang berlawanan dengan realita, tetapi ini termasuk dari tauriyah (hal melahirkan diluar yang dimaksudkan). Lebih dari itu, kasus diatas termasuk dalam kondisi peperangan dan dalam urusan perang, karena pergi menuju medan pertempuran untuk memerangi musuh. Dan itu termasuk khid’ah, tipuan yang terdapat dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, الْحَرْبُ خَدْعَةٌ:(perang adalah tipu muslihat).
Adapun hadits yang diriwayatkan dari Jabir tentang perkataan Muhammad bin Maslamah yang mau membunuh Ka’ab Bin Asyraf (musuh yg hendak dibunuhnya), dan diizinkan Nabi SAW, dg perkataan:
إِنَّ هَذَا الرَّجُلَ قَدْ أَرَادَ صَدَقَةً وَقَدْ عَنَّانَا
Sungguh laki-laki ini -maksudnya adalah Rasulullah saw.- telah membebaniku dan meminta kepadaku sedekah.
Kasus ini terjadi saat perang. Meskipun teks hadits menyatakan bahwa ucapan Muhamad ibn Musallamah adalah benar, dan bukan bohong, tetapi sebenarnya itu adalah ungkapan ta’ridl (sindiran). Dia meminta kepada Nabi saw. untuk dapat mengatakan apapun, dan Nabi saw. memberinya izin mengatakan apapun, termasuk berbohong secaratalwih dan tasrih. Dan itu terjadi saat perang.
Adapun hadits yang diriwayatkan Ahmad dan An Nasa’i dari haditsnya Anas dalam kasus Al-Hajjaj ibn ‘Ilath yang meminta izin pada Rasulullah untuk dapat mengatakan apa yang dia kehendaki demi untuk menyelamatkan hartanya dari kaum Makkah, lalu Nabi memberinya izin dan menginformasikan kepada kaum Makkah bahwa kelompok Khaibar telah mengalahkan umat Islam, itu karena dianggap dalam kategori perang, karena penduduk Makkah sedang terjadi kontak senjata dengan umat Islam. Al-Hajjaj ibn ‘Ilath adalah orang Islam. Dia berjalan diantara orang-orang kafir yang sedang melakukan kontak senjata dengan umat Islam, maka boleh berbohong kepada mereka. Karena, diperbolehkannya berbohong tidak hanya terbatas pada mereka yang ikut berperang, tetapi juga boleh bagi umat Islam lainnya untuk berbohong kepada para musuh, orang-orang kafir yang sedang berperang dengan umat Islam.
Adapun hadits Riwayat Al-Bazzar yang menyebutkan,
الْكَذِبُ مَكْتُوبٌ إلاَّ مَا نُفِعَ بِهِ مُسْلِمٌ، أَوْ دَفَعَ بِهِ عَنْهُ
"berbohong itu sudah dicatat (sebagai dosa) kecuali yang bermanfaat bagi orang Islam atau bisa melindunginya”.
Hadits ini adalah hadits dlo’if (lemah) yang tidak bisa dipakai hujjah, Al Bazzar mengatakan:
لا نَعْلَمُهُ بِهَذَا اللَّفْظِ إِلا بِهَذَا الإِسْنَادِ، وَرِشْدِينُ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ لَمْ يَكُونَا بِالْحَافِظَيْنِ
Aku tidak mengetahui dg lafadz ini kecuali dari sanad ini, Riysdin dan Abdurrahman (dua perowi hadits ini) bukanlah orang yang baik hafalannya.
Al Baberkata pemilik kitab Majma’uz Zawaid: dalam sanad hadits diatas terdapat nama Risydin dan yang lainnya yang termasuk perowi yg dlo’if[4].
Hukum Tauriyyah
Tauriyah adalah kalimat yang mengandung makna ganda;. Makna dekat (mudah ditangkap) dan makna jauh (sulit dijangkau). Dan pembicara menghendaki makna yang jauh, sementara pendengar memahaminya makna yang dekat. Maka dalam kasus ini, meskipun pendengar menangkap makna yang tidak dimaksud pembicara, tetapi ia tidak memahaminya sebagai sesuatu yang berlawanan dengan realita. Nabi pun pernah melakukan tauriyah. Dalam Shohih Bukhori disebutkan bahwa Anas ibn Malik RA berkata; berjalan Nabi Allah SAW menuju Madinah, beliau mengikuti Abu Bakar, Abu Bakar adalah seorang kakek yang terkenal, sementara Nabi Allah SAW seorang pemuda yang belum dikenal. Anas berkata: lalu salah seorang menemui Abu Bakar dan bertanya: wahai Abu Bakar, siapakah pemuda yang bersamamu? Lalu Abu Bakar menjawab; dialah yang menunjukkanku jalan. Anas berkata: orang mengira bahwa yang dimaksud adalah jalan dalam arti yang sebenarnya (yakni guide/pekerja penunjuk jalan), meskipun maksud Abu Bakar adalah jalan kebaikan.
Adapun Tauriyah selain saat perang, jika dipahami oleh pendengar sebagai yang berlawanan dengan fakta, seperti penggunaan kalimat yang tidak menunjukkan pada fakta dan lainya baik secara etimologi mauapun terminologi dan itu diyakini kedua belah pihak; pembicara dan pendengar, maka itu adalah kebohongan yang tidak diperbolehkan. Contohnya seperti satu golongan yang membuat terma (istilah) tertentu, kemudian mereka ungkapkan pada orang yang tidak mengerti istilah itu, atau itu adalah istilah khusus bagi pembicara yang tidak dimengerti oleh si pendengar, maka itu adalah kebohongan. Sebab, meskipun bagi pembicara itu adalah tauriyah, tetapi pendengar memahaminya sebagai ucapan yang bertabrakan dengan realita, maka hal itu tidak bisa dikategorikan sebagai tauriyah.
Berbeda jika lafadz tersebut bisa dipahami oleh realita dan lainnya, maka itu termasuk dari seni bahasa (balaghoh), dan itu bukan suatu kebohongan. Seperti ungkapan orang Arab pada seseorang yang bermata satu, "mudah-mudahan kedua matanya sama", kalimat ini bermakna ganda, bisa mendoakan kesembuhannya (kedua matanya bisa melihat), tetapi bisa pula berarti mendoakan jelek (kedua matanya menjadi buta). Allahu A’lam.
[1] Mubahalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat mendoakan kepada Allah dengan sungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw
[2] sesuatu yang keberadaannya menyebabkan adanya hukum atau perkara yang memunculkan suatu hukum (Taisirul Wushul Ilal Ushul hal. 90)
[3] Dusta krn sayang, bukan dusta untuk mengurangi haknya, kalau dusta untuk mengurangi haknya maka haram. Syarh an nawawi : وَأَمَّا كَذِبُهُ لِزَوْجَتِهِ وَكَذِبُهَا لَهُ فَالْمُرَادُ بِهِ فِي إِظْهَارِ الْوُدِّ وَالْوَعْدِ بِمَا لَا يَلْزَمُ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَأَمَّا الْمُخَادَعَةُ فِي مَنْعِ مَا عَلَيْهِ أو عليها أو أخذ ماليس لَهُ أَوْ لَهَا فَهُوَ حَرَامٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ
[4] وَفِيهِ رِشْدِينُ وَغَيْرُهُ مِنَ الضُّعَفَاءِ

Posted by : el-kamil ibnu ishaq ~ / Dakwah , Berita , Internet Bisnis

Artikel HUKUM BERBOHONG DALAM ISLAM diposting oleh el-kamil ibnu ishaq pada Kamis, 10 Mei 2012. Terima kasih atas kunjungannya. Kritik dan saran dapat disampaikan via kotak komentar. Jika diperlukan Artikel ini bisa disebarluaskan melalui blog sobat, hanya mohon sebutkan sumbernya dengan tautan link aktif ke postingan ini. Salam ukhuwah. Terimakasih.

0 ngawaleur:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda Mengenai Artikel di atas
Terima kasih

el-kamil ibnu ishaq