Berbohong secara tegas hukumnya haram berdasarkan nash
Al-Qur’an yang qoth’i. Dan keharamanya termasuk persoalan-persoalan agama yang
diketahui secara pasti. Tidak ada perbedaan antara berbohong demi kemaslahatan
umat Islam, agama atau karena yang lain. Banyak nash menyatakan keharamannya
secara umum, mutlak dan pasti serta tidak disertai illat. Allah berfirman;
إِنَّمَا
يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ
اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
"Sesungguhnya yang mengada-ada kebohongan, hanyalah
orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah" (Q.S. Al-Nahl:
105), dan ayat
فَمَنْ
حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ
مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ
فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ
وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ
لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu
(yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita
memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri
kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah[1] kepada
Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang
dusta(Q.S. Al-Imron: 61).
Larangan keras, mutlak dan umum ini tidak mempunyai
‘illat[2], dibatasi dan ditakhsis (dikhususkan) kecuali oleh nash yang lain.
Peranan akal hanya untuk memahami nash, dan tidak lebih dari itu. Dan tak
ditemukan nash yang menunjukkan penta’lilan atau pentaqyidan (pembatasan), baik
dalam al-Qur’an maupun Hadits. Tetapi terdapat nash lain yang mentakhsis nash
diatas...
Dalam nash tersebut ada beberapa kondisi tertentu yang dikecualikan
dari keharaman berbohong, dan ini tidak boleh keluar dari yang telah disebutkan
dalam beberapa hadits.
لَيْسَ
الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ
النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِي خَيْرًا
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ
أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا
يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي
ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ
الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا
"Bukanlah termasuk pendusta orang yang mendamaikan
pihak-pihak yang bertikai, yang berkata demi kebaikan, dan yang membangkitkan
(mengingatkan) kebaikan." lbnu Syihab (salah satu perawi hadits) berkata;
‘Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia
kecuali dalam tiga hal, yaitu; dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan
pihak-pihak yang bertikai, dan dusta suami terhadap istri atau istri terhadap
suami[3] (untuk meraih kebahagiaan atau menghindari keburukan) (HR. Muslim dari
Ummu Kultsum)
Dari Asma binti Yazid, ia berkata; Rasulullah berkhutbah:
أَيُّهَا
النَّاسُ مَا يَحْمِلُكُمْ عَلَى
أَنْ تَتَابَعُوا فِي الْكَذِبِ كَمَا
يَتَتَابَعُ الْفَرَاشُ فِي النَّارِ كُلُّ
الْكَذِبِ يُكْتَبُ عَلَى ابْنِ آدَمَ
إِلَّا ثَلَاثَ خِصَالٍ رَجُلٌ
كَذَبَ عَلَى امْرَأَتِهِ لِيُرْضِيَهَا
أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ فِي
خَدِيعَةِ حَرْبٍ أَوْ رَجُلٌ
كَذَبَ بَيْنَ امْرَأَيْنِ مُسْلِمَيْنِ
لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمَا
"Wahai sekalian manusia, apa yang mendorong kalian
ikut-ikutan berdusta sebagaimana anai-anai berebut ke api, setiap perbuatan
dusta akan dicatat atas anak adam kecuali tiga hal; seorang suami yang
berbohong kepada isterinya supaya isterinya ridla, atau seseorang yang berdusta
dalam rangka strategi perang dan seseorang yang berbohong di antara kedua belah
pihak dari kaum muslimin untuk mendamaikan keduanya." (HR. Ahmad dan at
Thabrani)
Oleh sebab itu, berbohong hukumnya haram kecuali dalam tiga
hal: 1) seseorang yang berbohong kepada istrinya demi ingin melihat istrinya
senang, 2) seseorang yang berbohong dalam situasi perang, karena perang itu
penuh muslihat dan 3) seseorang yang berbohong untuk mendamaikan mereka yang
sedang bertikai". Ketiga hal ini adalah pengecualian dari keharaman
berbohong dengan nash yang shohih. Maka tidak boleh berbohong selain 3 kasus
diatas. Karena tidak ada pengecualian dari keumuman satu nash kecuali yang
telah ditentukan oleh dalil. Kata -kata "saat perang" dalam hadits
diatas hanya mempunyai makna satu, tidak lebih dari itu. Yaitu situasi perang
nyata dalam persoalan perang. Maka sama sekali tidak diperbolehkan berbohong
dalam keadaaan bukan perang.
Sementara riwayat yang menyatakan "bahwa Nabi ketika
hendak berperang, beliau menyembunyikannya dengan yang lain", itu yang
dimaksud adalah bahwa ketika menginginkan suatu hal, beliau tidak menampakkan
hal itu. Seperti saat beliau berperang melalui arah timur, beliau malah
bertanya tentang satu hal di arah barat dan bersiap-siap untuk melakukan
perjalanan. Sehingga orang yang melihat dan mendengarnya menduga ia akan melewati
arah barat. Dan tidak ada pernyataan yang tegas bahwa beliau ingin ke barat
sementara maksudnya ke timur, artinya beliau tidak memberikan informasi yang
berlawanan dengan realita, tetapi ini termasuk dari tauriyah (hal melahirkan
diluar yang dimaksudkan). Lebih dari itu, kasus diatas termasuk dalam kondisi
peperangan dan dalam urusan perang, karena pergi menuju medan pertempuran untuk
memerangi musuh. Dan itu termasuk khid’ah, tipuan yang terdapat dalam hadits
Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, الْحَرْبُ
خَدْعَةٌ:(perang adalah
tipu muslihat).
Adapun hadits yang diriwayatkan dari Jabir tentang perkataan
Muhammad bin Maslamah yang mau membunuh Ka’ab Bin Asyraf (musuh yg hendak
dibunuhnya), dan diizinkan Nabi SAW, dg perkataan:
إِنَّ هَذَا الرَّجُلَ قَدْ
أَرَادَ صَدَقَةً وَقَدْ عَنَّانَا
Sungguh laki-laki ini -maksudnya adalah Rasulullah saw.-
telah membebaniku dan meminta kepadaku sedekah.
Kasus ini terjadi saat perang. Meskipun teks hadits
menyatakan bahwa ucapan Muhamad ibn Musallamah adalah benar, dan bukan bohong,
tetapi sebenarnya itu adalah ungkapan ta’ridl (sindiran). Dia meminta kepada
Nabi saw. untuk dapat mengatakan apapun, dan Nabi saw. memberinya izin
mengatakan apapun, termasuk berbohong secaratalwih dan tasrih. Dan itu terjadi saat
perang.
Adapun hadits yang diriwayatkan Ahmad dan An Nasa’i dari
haditsnya Anas dalam kasus Al-Hajjaj ibn ‘Ilath yang meminta izin pada
Rasulullah untuk dapat mengatakan apa yang dia kehendaki demi untuk
menyelamatkan hartanya dari kaum Makkah, lalu Nabi memberinya izin dan
menginformasikan kepada kaum Makkah bahwa kelompok Khaibar telah mengalahkan
umat Islam, itu karena dianggap dalam kategori perang, karena penduduk Makkah
sedang terjadi kontak senjata dengan umat Islam. Al-Hajjaj ibn ‘Ilath adalah orang
Islam. Dia berjalan diantara orang-orang kafir yang sedang melakukan kontak
senjata dengan umat Islam, maka boleh berbohong kepada mereka. Karena,
diperbolehkannya berbohong tidak hanya terbatas pada mereka yang ikut
berperang, tetapi juga boleh bagi umat Islam lainnya untuk berbohong kepada
para musuh, orang-orang kafir yang sedang berperang dengan umat Islam.
Adapun hadits Riwayat Al-Bazzar yang menyebutkan,
الْكَذِبُ
مَكْتُوبٌ إلاَّ مَا نُفِعَ
بِهِ مُسْلِمٌ، أَوْ دَفَعَ بِهِ
عَنْهُ
"berbohong itu sudah dicatat (sebagai dosa) kecuali
yang bermanfaat bagi orang Islam atau bisa melindunginya”.
Hadits ini adalah hadits dlo’if (lemah) yang tidak bisa
dipakai hujjah, Al Bazzar mengatakan:
لا نَعْلَمُهُ بِهَذَا اللَّفْظِ إِلا
بِهَذَا الإِسْنَادِ، وَرِشْدِينُ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ لَمْ يَكُونَا بِالْحَافِظَيْنِ
Aku tidak mengetahui dg lafadz ini kecuali dari sanad ini,
Riysdin dan Abdurrahman (dua perowi hadits ini) bukanlah orang yang baik
hafalannya.
Al Baberkata pemilik kitab Majma’uz Zawaid: dalam sanad hadits
diatas terdapat nama Risydin dan yang lainnya yang termasuk perowi yg
dlo’if[4].
Hukum Tauriyyah
Tauriyah adalah kalimat yang mengandung makna ganda;. Makna
dekat (mudah ditangkap) dan makna jauh (sulit dijangkau). Dan pembicara
menghendaki makna yang jauh, sementara pendengar memahaminya makna yang dekat.
Maka dalam kasus ini, meskipun pendengar menangkap makna yang tidak dimaksud
pembicara, tetapi ia tidak memahaminya sebagai sesuatu yang berlawanan dengan
realita. Nabi pun pernah melakukan tauriyah. Dalam Shohih Bukhori disebutkan
bahwa Anas ibn Malik RA berkata; berjalan Nabi Allah SAW menuju Madinah, beliau
mengikuti Abu Bakar, Abu Bakar adalah seorang kakek yang terkenal, sementara
Nabi Allah SAW seorang pemuda yang belum dikenal. Anas berkata: lalu salah
seorang menemui Abu Bakar dan bertanya: wahai Abu Bakar, siapakah pemuda yang
bersamamu? Lalu Abu Bakar menjawab; dialah yang menunjukkanku jalan. Anas
berkata: orang mengira bahwa yang dimaksud adalah jalan dalam arti yang
sebenarnya (yakni guide/pekerja penunjuk jalan), meskipun maksud Abu Bakar
adalah jalan kebaikan.
Adapun Tauriyah selain saat perang, jika dipahami oleh
pendengar sebagai yang berlawanan dengan fakta, seperti penggunaan kalimat yang
tidak menunjukkan pada fakta dan lainya baik secara etimologi mauapun
terminologi dan itu diyakini kedua belah pihak; pembicara dan pendengar, maka
itu adalah kebohongan yang tidak diperbolehkan. Contohnya seperti satu golongan
yang membuat terma (istilah) tertentu, kemudian mereka ungkapkan pada orang
yang tidak mengerti istilah itu, atau itu adalah istilah khusus bagi pembicara
yang tidak dimengerti oleh si pendengar, maka itu adalah kebohongan. Sebab,
meskipun bagi pembicara itu adalah tauriyah, tetapi pendengar memahaminya
sebagai ucapan yang bertabrakan dengan realita, maka hal itu tidak bisa
dikategorikan sebagai tauriyah.
Berbeda jika lafadz tersebut bisa dipahami oleh realita dan
lainnya, maka itu termasuk dari seni bahasa (balaghoh), dan itu bukan suatu
kebohongan. Seperti ungkapan orang Arab pada seseorang yang bermata satu,
"mudah-mudahan kedua matanya sama", kalimat ini bermakna ganda, bisa
mendoakan kesembuhannya (kedua matanya bisa melihat), tetapi bisa pula berarti
mendoakan jelek (kedua matanya menjadi buta). Allahu A’lam.
[1] Mubahalah ialah masing-masing pihak di antara
orang-orang yang berbeda pendapat mendoakan kepada Allah dengan
sungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. Nabi
mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan ini
menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw
[2] sesuatu yang keberadaannya menyebabkan adanya hukum atau
perkara yang memunculkan suatu hukum (Taisirul Wushul Ilal Ushul hal. 90)
[3] Dusta krn sayang, bukan dusta untuk mengurangi haknya,
kalau dusta untuk mengurangi haknya maka haram. Syarh an nawawi : وَأَمَّا كَذِبُهُ لِزَوْجَتِهِ وَكَذِبُهَا لَهُ فَالْمُرَادُ بِهِ
فِي إِظْهَارِ الْوُدِّ وَالْوَعْدِ بِمَا لَا يَلْزَمُ
وَنَحْوُ ذَلِكَ فَأَمَّا الْمُخَادَعَةُ
فِي مَنْعِ مَا عَلَيْهِ
أو عليها أو أخذ
ماليس لَهُ أَوْ لَهَا
فَهُوَ حَرَامٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ
[4] وَفِيهِ
رِشْدِينُ وَغَيْرُهُ مِنَ الضُّعَفَاءِ
0 ngawaleur:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda Mengenai Artikel di atas
Terima kasih
el-kamil ibnu ishaq