Tampilkan postingan dengan label berita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label berita. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 Mei 2013

Talak Mu’allaq atau Talak Bersyarat


Talak mu’allaq adalah mentalak istri dengan mengaitkan pada terjadinya sesuatu baik sesuatu yang akan terjadi pada suami yang mentalak atau pada istri yang ditalak, bisa pula dikaitkan dengan perbuatan orang lain.

Jika dikaitkan dengan sesuatu yang terjadi pada suami yang mentalak atau pada istri yang ditalak, maka seperti ini disebut yamin (sumpah) menurut jumhur (mayoritas ulama). Dianggap demikian karena di dalamnya dianggap terdapat makna sumpah.

Contohnya seperti  ucapan suami pada istri: Jika engkau keluar dari rumah, maka engkau saya talak; atau jika aku bersafar, maka engkau kutalak; atau jika aku berkunjung pada si fulan, maka saya talak engkau.

Jika dikaitkan dengan perbuatan orang lain (bukan suami atau istri) atau dikaitkan pada sesuatu yang terjadi, maka ini tidak disebut yamin (sumpah) karena sudah tidak adanya lagi makna tersebut. Semacam ini disebut ta’liq (syarat), bukan sumpah. Namun sebagian ulama masih menyebutnya yamin.

Contohnya seperti ucapan suami pada istri: Kamu saya talak jika matahari tenggelam.

Hukum talak dengan maksud sumpah, seperti ucapan ‘jika engkau keluar rumah, maka engkau ditalak’, maka ada dua keadaan:

1- Maksud dari ucapan talak adalah jatuh talak secara hakiki jika syarat tersebut tercapai. Menurut jumhur ulama, talak tersebut dianggap jatuh.

2- Maksud dari ucapan talak bukan maksud talak secara hakiki namun untuk ancaman supaya mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Mengenai talak dengan maksud ini, ada dua pendapat di antara para ulama:

a- Talak tersebut jatuh ketika syaratnya tercapai. Inilah pendapat jumhur fuqoha dan empat ulama madzhab. Di antara alasannya karena muslim harus berpegang dengan syarat yang ia tetapkan.

b- Talak tersebut tidaklah jatuh. Pendapat ini menjadi pegangan ‘Ikrimah, Thowus, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim. Di antara alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِهَا وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ

“Barangsiapa bersumpah untuk melakukan sesuatu, lalu ia melihat ada kebaikan pada yang lain, maka pilihlah yang baik tersebut dan batalkan sumpah tersebut dengan kafaroh.” (HR. Muslim no. 1650).

Tujuh orang sahabat -yaitu Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Aisyah, Abu Salmah, Hafshoh, Zainab, menganggap tidak jatuhnya sumpah dengan memerdekakan budak. Demikian bisa diqiyaskan dengan talak dengan qiyas yang shahih.

Kesimpulan: Karena tidak ada dalil tegas dari Alquran maupun hadis Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, juga tidak ada ijma’ (consensus para ulama), ditambah kesesuaian dengan maqoshid syariat, maka pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah talak mu’allaq bersyarat (talak dengan maksud sumpah) tidaklah jatuh.

Sekali lagi talak ini adalah jika dengan maksud sebagai ancaman supaya mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Namun jika maksudnya adalah talak secara hakiki, maka dianggap jatuh talak. Mahkamah di Mesir berpendapat yang sama, mereka berkata, “Tidak jatuh talak bersyarat jika dimaksudkan sebagai ancaman (peringatan) untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu, bukan yang lainnya.”

Demikian kesimpulan dari Syaikh Abu Malik Kamal Salim dalam Shahih (Fiqh Sunnah, 3: 306).

Sabtu, 16 Maret 2013

TALAK KINAYAH

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar)

وَعَنْ عَائِشَةَ x أَنَّ ابْنَةَ اَلْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ n وَدَنَا مِنْهَا، قَالَتْ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ. قَالَ: لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ، الْحَقِي بِأَهْلِكِ

Dari ‘Aisyah x: Saat Ibnatul Jaun hendak dipertemukan dengan Rasulullah n dan beliau n mendekatinya, ia (Ibnatul Jaun) berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.” Rasulullah n bersabda, “Sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Mahaagung. Kembalilah kepada keluargamu!”

Takhrij Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari (3/458), an-Nasai (2/98), Ibnu Majah (2050), Ibnul Jarud (738), ad-Daraquthni (437), dan al-Baihaqi (7/39, 234), seluruhnya dari jalur al-Auza’i. Ia berkata bahwa ia pernah bertanya kepada az-Zuhri, “Siapakah istri Rasulullah n yang pernah memohon perlindungan dari beliau?” Az-Zuhri menjawab, “Urwah menyampaikan kepadaku dari ‘Aisyah bahwasanya ketika Ibnatul Jaun hendak dipertemukan dengan Rasulullah n dan beliau n mendekatinya, ia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah dari engkau.’ Rasulullah n pun bersabda, ‘Sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Mahaagung. Kembalilah kepada keluargamu!’.”
Al-Bukhari t mengeluarkan riwayat dari Hamzah bin Abi Usaid, dari Abu Usaid, ia berkata, “Kami pernah keluar menemani Rasulullah n, sampai tiba di sebuah dinding kebun bernama asy-Syauth. Kami tiba dan duduk di antara dua dinding kebun.
Rasulullah n bersabda, ‘Duduklah di sini saja!’ Beliau pun masuk, dan seorang wanita dari keturunan Jaun telah didatangkan. Wanita itu ditempatkan di sebuah rumah yang terbuat dari pohon kurma, di rumah Umaimah binti an-Nu’man bin Syarahbil. Wanita tersebut disertai ibu pengasuhnya.
Ketika wanita itu bertemu Rasulullah n dan mendekat, Rasulullah n bersabda, ‘Serahkanlah dirimu untukku!’
Ia menjawab, ‘Apakah seorang ratu hendak menyerahkan dirinya kepada orang rendahan?’
Rasulullah n lalu bermaksud meletakkan tangan pada wanita tersebut untuk menenangkannya. Namun, ia justru berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’
Rasulullah n pun bersabda, ‘Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat yang memberikan perlindungan.’
Rasulullah n lalu keluar meninggalkannya. Rasulullah n bersabda kepada Abu Usaid, ‘Wahai Abu Usaid, berikan dua helai pakaian raziqiyah untuknya dan kembalikan dia kepada keluarganya!’.” (Irwa’ul Ghalil, al-Albani)

Siapakah Ibnatul Jaun?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang nama Ibnatul Jaun. Bahkan, perbedaan tersebut sangat panjang. Namun, kesimpulan yang diberikan oleh al-Imam ash-Shan’ani t cukup memuaskan. Beliau berkata (Subulus Salaam, “Kitab Talak”), “Manfaatnya kecil untuk memastikan namanya. Oleh karena itu, kita tidak perlu sibuk untuk menukilkan.”
Ibnu Sa’d mengeluarkan riwayat dari jalan Abdul Wahid bin ‘Aun, ia bercerita, “An-Nu’man bin Abil Jaun al-Kindi datang untuk menemui Rasulullah n di kota Madinah. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah n, berkenankah Anda jika aku nikahkan dengan wanita tercantik di kalangan Arab? Dahulu, wanita itu menjadi istri sepupunya sendiri, lalu suaminya meninggal. Ia pun sangat menginginkan Anda.’
Rasulullah n menjawab, ‘Ya.’
An-Nu’man berkata, ‘Kalau begitu, utuslah seseorang untuk menjemputnya.’ Rasulullah n kemudian mengutus Abu Usaid as-Sa’idi.
Abu Usaid bercerita, “Aku pun tinggal di sana selama tiga hari. Setelah itu, aku membawa wanita tersebut dengan menggunakan usungan tandu. Setibanya di Madinah, wanita itu aku turunkan di kampung Bani Sa’idah. Aku pun segera mengirim berita kepada Rasulullah n. Saat itu, Rasulullah n sedang berada di kampung Bani ‘Amr bin ‘Auf.”
Ibnu Abi ‘Aun menambahkan, “Peristiwa itu terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, tahun ketujuh.” (Subulus Salam, ash-Shan’ani)
Ibnu Abdil Barr t berkata, “Ulama telah menetapkan ijma’, wanita yang dinikahi Rasulullah n adalah al-Jauniyah (Ibnatul Jaun). Namun, mereka berbeda pendapat tentang sebab Rasulullah n menalaknya.
Qatadah t berkata, ‘Ketika Rasulullah n masuk menemuinya, beliau memanggilnya. Tetapi ia malah berkata, ‘Engkaulah yang kemari!’ Lalu, Rasulullah n menalaknya. Ada pula yang berpendapat bahwa ia ditalak karena memiliki bekas luka.’
Sebagian ulama mengatakan, ‘(Sebab ditalaknya) adalah karena wanita tersebut mengatakan, ‘Aku berlindung kepada Allah l darimu.’ Rasulullah n lalu bersabda, ‘Sungguh, engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Agung. Allah telah memberikan perlindungan kepadamu dariku’.’
Ia (Ibnu Abdil Barr) berkata, “Hal ini batil. Yang mengucapkan perkataan ini adalah seorang wanita dari Bani ‘Anbar (bukan Ibnatul Jaun). Wanita tersebut sangat cantik. Istri-istri Rasulullah n khawatir jika wanita itu mengalahkan mereka. Mereka pun berpesan kepadanya, sesungguhnya Rasulullah n sangat senang jika disampaikan kepada beliau, ‘Kami berlindung kepada Allah darimu.’ Wanita itu pun melakukan apa yang dipesankan. Lalu, Rasulullah n menalaknya.
Namun al-Hafizh Ibnu Hajar t membantah, “Saya tidak mengerti. Mengapa ia memberikan hukum tentang cerita tersebut sebagai cerita batil? Padahal, banyak riwayat yang menjelaskan dan menetapkannya, seperti pada hadits Aisyah dalam Shahih al-Bukhari.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar)

Makna Hadits
Ath-Thahawi t berkata, “Hadits ini merupakan dalil mendasar tentang penggunaan lafadz kinayah (kiasan) dalam talak, karena Rasulullah n mengucapkan, ‘Kembalilah kepada keluargamu!’ ketika menalak Ibnatul Jaun. Sementara itu, Ka’b bin Malik juga mengatakan hal yang sama kepada istrinya, ‘Kembalilah kepada keluargamu!’ pada saat Rasulullah n memerintahkan Ka’b untuk menjauhi istrinya. Akan tetapi, ucapan Ka’b tersebut tidak dihukumi sebagai talak. Dengan demikian, kisah Ka’b bin Malik menunjukkan bahwa pernyataan semacam ini membutuhkan niat. Barang siapa mengatakan kepada istrinya, ‘Kembalilah ke keluargamu!’ tidak dapat diputuskan melainkan dengan niat orang yang melafadzkan. Jika ia tidak meniatkan talak, berarti bukan talak. Ini adalah pendapat Malik, penduduk Kufah, dan asy-Syafi’i.” (Syarah al-Bukhari, Ibnu Baththal)
Hadits di atas merupakan dalil bahwa ucapan seorang suami kepada istrinya, “Kembalilah ke keluargamu!” termasuk talak, sebab tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah n mengucapkan kata-kata lain. Jadi, jika lafadz kinayah diniatkan sebagai talak, talak pun jatuh.
Bukti yang menunjukkan bahwa pernyataan, “Kembalilah kepada keluargamu!” termasuk lafadz kinayah adalah kisah Ka’b bin Malik yang terkenal (kisah Perang Tabuk). Saat itu, Ka’b bin Malik diperintahkan untuk menjauhi istrinya. Ka’b mengatakan, “Kembalilah kepada keluargamu! Tinggallah di sana bersama mereka!” Namun, Ka’b tidak berniat untuk menjatuhkan talak dengan lafadz ini. Oleh karena itu, terhadap istrinya pun tidak jatuh talaknya. Pendapat inilah yang dipilih oleh imam yang empat dan lainnya.
Adapun azh-Zhahiriyah berpendapat, ucapan seorang suami kepada istrinya, “Kembalilah kepada keluargamu!” tidak menyebabkan jatuh talak. Mereka beralasan, “Nabi Muhammad n belum mengadakan akad nikah dengan Ibnatul Jaun. Beliau hanyalah mengutus orang untuk melamar, karena adanya perbedaan riwayat dalam kisah. Yang menunjukkan Rasulullah n belum mengadakan akad nikah dengan Ibnatul Jaun adalah riwayat dalam Shahih al-Bukhari, beliau berkata, ‘Serahkanlah dirimu untukku.’ Lalu, Ibnatul Jaun berkata, ‘Apakah seorang ratu akan menyerahkan dirinya kepada orang rendahan?’ Permintaan Nabi n agar Ibnatul Jaun menyerahkan dirinya menunjukkan bahwa beliau belum mengadakan akad nikah dengannya.”
Hanya saja, pendapat azh-Zhahiriyah cukup jauh dari kebenaran berdasarkan beberapa alasan, antara lain:
1. Riwayat, “Rasulullah n hendak meletakkan tangan pada wanita tersebut.”
2. Riwayat, “Kemudian Rasulullah n masuk padanya.”
Dua hal di atas, tidaklah terjadi selain pada istri sendiri. Adapun sabda Nabi n, “Serahkanlah dirimu untukku!”, kata-kata ini diucapkan Nabi n hanyalah untuk menyenangkan dan menarik hatinya. Atau bisa juga dijawab, “Serahkanlah dirimu untukku!” adalah panggilan seorang suami kepada istrinya.
Diperkuat lagi dengan adanya riwayat, “Ia pun sangat menginginkan Anda.” Demikian juga riwayat yang menjelaskan kesepakatan dirinya dengan ayahnya tentang besarnya mahar. Hal-hal ini, meskipun tidak secara sharih (jelas) menunjukkan adanya akad nikah, namun kemungkinan inilah yang terkuat. (Subulus Salam, ash-Shan’ani)

Lafadz Talak
Lafadz talak ada dua:
1. Sharih (kata yang jelas dan dapat dimengerti)
Yakni lafadz-lafadz yang memang digunakan untuk menjatuhkan talak dan tidak mengandung kemungkinan makna selain talak. Yaitu, lafadz “thalaq” dan pecahan katanya. Misalnya, “Saya talak kamu.” Demikian pula kata “cerai”.
2. Kinayah (kiasan/sindiran)
Yaitu lafadz-lafadz yang mengandung makna talak dan makna yang lain. Misalnya, “Kamu saya lepas”, “Kamu bebas”, atau “Pergilah, kembalilah kepada keluargamu!”
Contoh lain lafadz kinayah dalam talak, “Kumpulkan pakaianmu, saya tidak lagi membutuhkanmu”, “Tidak ada tali pernikahan antara kita”, “Tidak ada lagi kesempatan untukmu”, “Pergilah, saya tidak lagi berhak”, “Jangan berhias lagi untuk diriku”, “Tidak ada lagi halal haram di antara kita”, atau “Menyingkirlah dariku!” (Syarah al-Bukhari, Ibnu Baththal)
Perbedaan talak dengan lafadz sharih dan lafadz kinayah adalah jika lafadz sharih diucapkan, terhitung sebagai talak meskipun ia tidak meniatkan talak. Adapun lafadz kinayah, tidak terhitung sebagai talak melainkan dengan meniatkan talak, sebab lafadz kinayah masih mengandung makna selain talak. Oleh karena itu, diharuskan adanya niat untuk menjatuhkan talak. Namun, ada tiga keadaan yang dikecualikan:
a. Jika ia mengucapkan lafadz kinayah saat terjadi pertengkaran dengan istrinya.
b. Jika ia mengucapkan lafadz kinayah saat marah.
c. Jika ia mengucapkan lafadz kinayah untuk menjawab permintaan talak istrinya.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Pada tiga keadaan ini, talak telah jatuh meskipun dengan lafadz kinayah walaupun ia beralasan, ‘Saya tidak meniatkannya.’ Alasannya, ada qarinah (tanda) yang menunjukkan bahwa ia memang meniatkannya. Maka dari itu, ucapannya, ‘Saya tidak meniatkannya’ tidak dapat dibenarkan. Wallahu a’lam.” (al-Mulakhkhash hlm. 333—334, Taudhihul Ahkam 5/509)
Asy-Syaikh al-Utsaimin t berkata, “Akan tetapi, pendapat yang benar adalah lafadz kinayah tidak dihitung talak melainkan jika didasari niat menalak, walaupun pada tiga keadaan di atas. Sebab, mungkin saja seorang suami dalam keadaan marah berkata, ‘Keluarlah!’ atau ucapan semisalnya, dan dia sama sekali tidak meniatkan talak. Ia hanya ingin istrinya menyingkir dari hadapannya sampai reda amarahnya.
Bisa juga seorang istri berkata, ‘Talaklah aku! Talaklah aku!’ Lalu si suami menjawab, ‘Thaaliq,’ dan suami tidak meniatkan talak. Yang ia maksud dengan kata ‘thaaliq’ adalah lepas dari ikatan. Atau ia mengatakan, ‘Kamu saya talak, jika saya jatuhkan talak’ dengan menyebutkan syarat. Intinya, talak tidak jatuh melainkan jika disertai niat’.” (Syarhul Mumti’, Bab “Talak”)
Asy-Syaikh Muqbil t pernah ditanya tentang bentuk talak. Beliau t menjawab, “Talak dapat dilakukan dengan lafadz apa pun. Ia bisa mengatakan, ‘Kamu saya talak’ atau ‘Kembalilah kepada keluargamu!’, dan disertai niat, atau, ‘Kamu terputus,’ atau, lafadz-lafadz lain yang dapat dipahami sebagai talak, hanya saja membutuhkan niat. Jika lafadznya sharih, itu sudah cukup. Jika lafadznya tidak sharih, harus disertai niat. Rasulullah n berkata kepada seorang wanita, ‘Kembalilah kepada keluargamu!’ lalu memerintahkan seorang sahabat untuk memberikan hadiah untuknya.” (Fatawa al-Mar’ah Muslimah, hlm. 228)
Ibnul Qayyim t berkata, “Pembagian lafadz talak menjadi lafadz sharih dan kinayah, meskipun secara asal adalah pembagian yang benar, hanya saja kenyataannya berbeda tergantung kepada kebiasaan orang, waktu, dan tempat. Maka dari itu, setiap lafadz tidak menjadi hukum yang pasti. Mungkin saja, satu kata dinilai sebagai lafadz sharih menurut sebagian orang, tetapi menurut orang lain termasuk lafadz kinayah. Bisa jadi, pada waktu (masa) dan tempat tertentu sebuah kata dinilai sebagai lafadz sharih, namun menjadi lafadz kinayah pada waktu dan tempat lain. Kenyataan adalah saksinya.
Asy-Syaikh Ali bin Isa, qadhi (hakim)negeri Syaqra’, berkata, “Sesungguhnya, pada masa sekarang, lafadz ‘Tikhlaah’ termasuk lafadz sharih, menurut kebiasaan yang berlaku di kalangan kami.”
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Yang benar, lafadz-lafadz untuk menalak tidak terbatas pada kata-kata tertentu. Setiap lafadz yang menunjukkan makna talak dapat menjadi lafadz talak, sebagaimana hal ini berlaku pada muamalah lainnya. Wallahu a’lam.” (Taudhihul Ahkam, 5/510)

Faedah Lain
Dalam penjelasan hadits:
مَنِ اسْتَعَاذَ بِاللهِ فَأَعِيْذُوهُ
“Barang siapa memohon perlindungan kepada Allah, berikanlah perlindungan untuknya.” (HR. Abu Dawud [2/622], Ahmad [no. 2248])
Al-Albani t mengatakan, “Hadits ini sanadnya jayyid (bagus), insya Allah.” (ash-Shahihah, 1/453)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t berkata, “Maknanya, ia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Engkau wajib untuk memberikan perlindungan untuknya karena ia telah memohon perlindungan kepada Dzat Yang Mahaagung. Oleh sebab itu, ketika Ibnatul Jaun berkata kepada Rasulullah n, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu’, Rasulullah n menjawab, ‘Sungguh, engkau telah meminta perlindungan kepada Dzat Yang Mahaagung. Kembalilah kepada keluargamu!’.”
Akan tetapi, ada yang dikecualikan. Misalnya, seseorang yang diwajibkan untuk melakukan sesuatu lalu ia meminta perlindungan (agar tidak mengerjakannya). Yang seperti ini tidak boleh engkau beri perlindungan. Misalnya, engkau mengharuskan dia untuk menegakkan shalat berjamaah, lalu ia berkata, “Aku berlindung kepada Allah darimu.”
Demikian pula halnya, jika engkau mengharuskan dia untuk berhenti dari berbuat haram, lalu ia meminta perlindungan kepada Allah l darimu. Engkau tidak boleh memenuhinya karena akan membantunya dalam hal dosa dan permusuhan. Di samping itu, Allah l tidak memberikan perlindungan kepada pelaku dosa. Seharusnya, pelaku dosa berhak mendapatkan hukuman, bukan dibantu dan dilindungi.
Demikian juga orang yang meminta perlindungan ke tempat yang dibenarkan secara syar’i untuk meminta perlindungan, meskipun ia tidak mengatakan, “Aku memohon perlindungan kepada Allah.” Engkau wajib memberikan perlindungan untuknya. Sebagaimana yang dikatakan ahlul ilmi, “Umpamanya, seseorang berbuat kejahatan lalu ia berlindung di tanah Haram, maka tidak dapat ditegakkan hukum hadd dan qishash terhadapnya di tanah Haram. Akan tetapi, ia ditekan: tidak boleh berjual beli dengannya atau muamalah upah-mengupah, sampai ia keluar. Berbeda halnya dengan orang yang melakukan pelanggaran terhadap kesucian tanah Haram dengan berbuat kejahatan di tanah Haram. Orang tersebut tidak mendapatkan perlindungan dari tanah Haram, karena ia telah melanggar kehormatan tanah Haram.” (al-Qaul al-Mufid, Ibnu Utsaimin 2/892)

Penutup
Al-Imam al-Bukhari t meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya. Beliau mengatakan, Utsman bin al-Haitsam telah menyampaikan hadits kepada kami, ‘Auf telah menyampaikan hadits kepada kami, dari al-Hasan, dari Abu Bakrah. Ia berkata, “Sungguh, pada hari-hari pertempuran Jamal, Allah l telah memberikan manfaat untuk diriku dengan sebuah sabda yang pernah aku dengar dari Rasulullah n. Padahal, sebelumnya hampir saja aku turut serta dalam pertempuran Jamal dan berperang bersama mereka.”
Abu Bakrah melanjutkan, “Ketika terdengar berita oleh Rasulullah n bahwa orang-orang Persia mengangkat putri Kisra sebagai raja, beliau bersabda, ‘Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat seorang perempuan sebagai penguasa’.”
Semoga hadits Ibnatul Jaun di atas serta penjelasan ringkas yang menyertainya, dapat bermanfaat suatu saat nanti.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Minggu, 23 Desember 2012

Agama(Islam) Itu Adalah Nasihat


Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari, sesungguhnya Nabi shalallahu alaihi wa salam bersabda:

"Agama itu adalah nasihat." Kami bertanya: "Untuk siapa?" Sabda beliau: "Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslimin." (HR Muslim).

Kata "nasihat" merupakan sebuah kata singkat penuh isi, maksudnya ialah segala hal yang baik. Dalam bahasa Arab tidak ada kata lain yang pengertiannya setara dengan kata "nasihat", sebagaimana disebutkan oleh para ulama Bahasa Arab tentang kata "al fallaah" yang tidak mempunyai padanan setara, yang mencakup makna kebaikan dunia dan akhirat.

Kalimat "agama adalah nasihat" maksudnya adalah sebagai tiang dan penopang agama, sebagaimana halnya sabda Nabi shalallahu alaihi wa salam "haji adalah Arafah", maksudnya bahwa wukuf di 'Arafah adalah tiang dan bagian terpenting haji.

Tentang penafsiran kata 'nasihat" dan berbagai cabangnya, Khathabi dan ulama-ulama lainnya mengatakan:

1) nasihat untuk Allah,

maksudnya beriman semata-mata kepada-Nya, menjauhkan diri dari syirik dan sikap ingkar terhadap sifat-sifatNya, memberikan kepada Allah sifat-sifat sempurna dan segala keagungan, menyucikan-Nya dari segala kekurangan, menaati-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, mencintai dan membenci sesuatu semata-mata karena-Nya, berjihad menghadapi orang-orang kafir, mengakui dan bersyukur atas semua nikmat-Nya, berlaku ikhlas dalam segala urusan, mengajak melakukan segala hal-hal yang baik sebagaimana disebutkan di atas, menganjurkan orang lain untuk berbuat semacam itu, dan bersikap lemah lembut kepada sesama manusia.

Khatabi berkata:"Secara prinsip, sifat-sifat baik tersebut kebaikannya kembali kepada pelakunya sendiri, karena Allah tidak memerlukan kebaikan dari siapa pun."

2) nasihat untuk kitab-Nya,

maksudnya adalah beriman kepada firman-firman Allah dan diturunkan-Nya firman-firman itu kepada rasul-Nya, meyakini bahwa itu semua tidaklah sama dengan perkataan manusia dan tiada pula dapat dibandingkan dengan perkataan siapa pun. Kemudian menghormati firman Allah, membacanya dengan sungguh-sungguh, melafazhkannya dengan baik dengan sikap rendah hati dalam membacanya, menjaganya dari takwil orang-orang yang menyimpang, membenarkan segala isinya, mengikuti hukum-hukumnya, memahami berbagai macam ilmunya dan kalimat-kalimat perumpamaannya, mengambilnya sebagai pelajaran, merenungkan segala keajaibannya, mengamalkan dan menerima apa adanya tentang ayat-ayat mutasyabih, mengkaji ayat-ayat yang bersifat umum, dan mengajak manusia pada hal-hal sebagaimana tersebut di atas dalam mengimani kitabullah.

3) nasihat untuk rasul-Nya,

maksudnya membenarkan ajaran-ajarannya, mengimani semua yang dibawanya, menaati perintah dan larangannya, membelanya semasa hidup maupun sesudah matinya, melawan para musuhnya, membela para pengikutnya, menghormati haknya, memuliakannya, menghidupkan sunnahnya, mengikuti seruannya, menyebarluaskan tuntunannya, tidak menuduhnya melakukan hal yang tidak baik, menyebarluaskan ilmunya dan memahami segala arti dari ilmu-ilmu itu, mengajak manusia kepada ajarannya, berlaku santun dalam mengajarkannya, mengagungkannya dan berlaku baik ketika membaca sunnah-sunnahnya, tidak membicarakan hal-hal yang tidak diketahuinya tentang sunnahnya, memuliakan para pengikut sunnahnya, meniru akhlak dan kesopanannya, mencintai keluarganya, para sahabatnya, meninggalkan orang yang melakukan perkara bid'ah dan orang yang tidak mengakui salah seorang shahabat beliau dan lain sebagainya.

4) nasihat untuk para pemimpin umat Islam,

maksudnya ialah menolong mereka dalam kebenaran, menaati perintah mereka dan memperingatkan kesalahan mereka dengan lemah lembut, memberitahu mereka jika mereka lupa, memberitahukan kepada mereka apa yang menjadi hak-hak kaum muslim, tidak melawan mreka dengan senjata, dan makmum shalat dibelakang mereka, berjihad bersama mereka dan mendo'akan mereka untuk mendapatkan kebaikan.

5) nasihat untuk seluruh kaum muslimin selain para penguasa,

maksudnya ialah memberikan bimbingan kepada mereka apa yang dapat memberikan kebaikan bagi mereka dalam urusan dunia dan akhirat, memberikan bantuan kepada mereka, menutup aib dan cacat mereka, menghindarkan mereka dari hal-hal yang membahayakan dan mengusahakan kebaikan bagi mereka, menyuruh mereka berbuat ma'ruf dan mencegah mereka dari kemungkaran dengan sikap santun dan ikhlas, kasih sayang dengan mereka, memuliakan yang tua dan menyayangi yang muda, memberikan nasihat yang baik kepada mereka, menjauhi kebencian dan kedengkian, mencintai sesuatu yang menjadi hak mereka seperti mencintai sesuatu yang menjadi miliknya sendiri, tidak menyukai sesuatu yang tidak mereka sukai sebagaimana yang ia sendiri tidak menyukainya, melindungi harta dan kehormatan mereka, dan sebagainya baik dengan ucapan maupun perbuatan serta menganjurkan kepada mereka untuk menerapkan perilaku-perilaku tersebut diatas.

Memberi nasihat merupakan fardhu kifayah, jika telah ada yang melaksanakannya, maka yang lain terlepas dari kewajiban ini. Hal ini merupakan suatu keharusan yang dikerjakan sesuai kemampuan.

Nasihat dalam bahasa Arab artinya membersihkan atau memurnikan seperti pada kalimat "nashakhtul 'asala" artinya saya membersihkan madu sampai tinggal tersisa yang murni. Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa nasihat juga mempunyai makna lain.

Alhamdulillah, kita adalah ummat terbaik yang diturunkan untuk manusia, selalu berbuat amar ma'ruf nahi mungkarlah sekuat diri masing-masing, baik dengan kekuatan diri, mengingatkan dengan perbincangan atau bicara dengan hati dingin dan paling tidak dengan hati... mengatakan bahwa hal ini tidak sesuai dengan syariah.

Wallahu a'lam

Kamis, 13 Desember 2012

Air Mata Ibu Yang Menetes


Saudara / i ku seiman .. para yang dirahmati Allah .. sungguh tak sekali pun kudengarkan muhadharah ini kecuali saya dalam kondisi berlinang airmata, saya terjemahkan untuk kita semua, moga kecintaan pada Ibu selalu diingatkan oleh Allah dalam hati-hati kita ... selama beliau masih bersama kita ..

Suatu hari seorang wanita duduk santai bersama suaminya, pernikahan mereka berumur 21 tahun, mereka mulai berbicara dan ia bertanya pada suaminya, "Tidakkah kamu ingin keluar makan malam bersama seorang wanita?". Suaminya kaget dan berkata, "Siapa? Saya tak memiliki anak juga saudara ". Wanita itupun kembali berkata, "Bersama seorang wanita yang selama 21 tahun tak pernah kau temani makan malam".

Tahukah kalian siapa wanita itu??
Ibunya ...
هايإ لاإ اودبعت لاأ كبر ىضقو كدنع نغلبي امإ اناسحإ نيدلاولابو فأ امهل لقت لاف امهلاك وأ امهدحأ ربكلا لاوق امهل لقو امهرهنت لاو نم لذلا حانج امهل ضفخاو * اميرك ينايبر امك امهمحرا بر لقو ةمحرلا اريغص

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al Isra ': 23-24)

Wanita itu berkata pada suaminya, "Selama kita bersama tak pernah engkau bersama ibumu walau sejenak saja, hubungi beliau, ajak makan malam berdua .. luangkan waktumu untuknya", suaminya terlihat bingung, seakan-akan ia lupa pada ibunya.

Maka hari itu juga ia menelpon ibunya, menanyakan kabar dan berkata "Ibu, gimana menurutmu jika kita habiskan malam ini berdua, kita keluar makan malam. Saya akan mengundang ibu, bersiaplah ". Ibunya heran, "Anakku, apakah terjadi sesuatu padamu?" Jawabnya. "Tidak ibu", berulang kali sang ibu bertanya.

"Ibu, malam ini saya ingin keluar bersamamu".

Mengherankan! Ibunya begitu tak percaya namun sangat bahagia. "Mungkin kita bisa makan malam bersama, bagaimana menurutmu?". Ibunya kembali bertanya, "Saya keluar bersamamu anakku?"

Ibunya seorang janda, ayahnya telah lama wafat, dan anaknya teringat padanya setalah 21 tahun pernikahannya. Hal yang sangat menggembirakannya, begitu lama waktu telah berlalu ia dalam kesendirian, dan datanglah hari ini, anaknya menghubunginya dan mengajaknya bersama. Seolah tak percaya, diapun bersiap jauh sebelum malam tiba. Tentu, dengan perasaan bahagia yang meluap-luap! Ia menanti kedatangan anaknya.

Laki-laki itupun bercerita: "Setibaku di rumah mengundang ibu, kulihat ia berdiri di depan pintu rumah menantiku"

Wanita tua ... menantinya di depan pintu! "Dan ketika dia melihatku, segera ia naik ke mobil.

Saya melihat wajahnya yang dipenuhi kebahagiaan, ia tertawa dan memberi salam padaku, memeluk dan menciumku, dan berkata: Anakku, tidak ada seorang pun dari keluargaku .. tetanggaku ... yang tidak mengetahui kalau saya keluar bersamamu malam ini, saya telah memberitahukan pada mereka semua, dan mereka menunggu ceritaku sepulang nanti "Lihat bagaimana jika seorang anak mengingat ibunya!

Sebuah syair berbunyi:

Apakah yang harus kulakukan
agar mampu membalas
kebaikanmu? Apakah yang harus kuberikan
agar mampu membalas
keutamaanmu?

Bagaimana kumenghitung
kebaikan-kebaikanmu?

Sungguh dia begitu
banyak .. sangat banyak .. dan
terlampau banyak!

Dan kami pun berangkat, sepanjang jalan saya pun bercerita dengan ibu, kami mengenang hari-hari yang lalu.

Setiba di restoran, saya baru menyadari bahwa baju yang dikenakan ibu adalah baju terakhir yang Ayah belikan untuknya, setelah 21 tahun saya tak bersamanya tentu pakaian itu terlihat sangat sempit, dan saya pun terus memperhatikan ibuku. Kami duduk dan datanglah seorang pelayan menanyakan menu makanan yang hendak kami makan, kulihat ibu membaca daftar menu dan sesekali melirik kepadaku, akhirnya kupahami kalau ibuku tak mampu lagi membaca tulisan di kertas itu. Ibuku sudah tua dan matanya tak bisa lagi melihat dengan jelas.

Kubertanya padanya, "Ibu, apakah engkau mau saya bacakan menunya?" Beliau segera mengiyakan dan berkata, "Saya mengingat saat kau masih kecil dulu, saya yang membacakan daftar menu untukmu, sekarang kau membayar utangmu anakku .. kau bacakanlah untukku"

Maka sayapun membacakan untuknya, dan demi Allah .. kurasakan kebahagiaan merasuki dadaku ..

Beberapa waktu datanglah makanan pesanan kami, saya pun mulai memakannya. Tapi ibuku tak menyentuh makanannya, beliau duduk memandangku dengan tatapan bahagia. Karena rasa gembira ia merasa tak selera untuk makan.

Dan ketika selesai makan, kami pun pulang, dan sungguh, tak pernah kurasakan kebahagian seperti ini setelah bertahun-tahun. Saya telah melalaikan ibuku 21 tahun lamanya.

Setiba di rumah, kutanyakan padanya: "Ibu .. bagaimana menurutmu kalo kita mencari waktu lain untuk keluar lagi?" Ia menjawab, "Saya siap kapan saja kau memintaku!"

Maka haripun berlalu, Saya sibuk dengan pekerjaan .. dengan perdagangan .. dan terdengar kabar Ibuku jatuh sakit. Dan ia selalu menanti malam yang telah kujanjikan. Hari terus berlalu dan sakitnya kian parah. Dan ... (Ya Alloh ... Astaghfirullohal al'adzim ... Ibuku meninggal dan tak ada malam kedua yang kujanjikan padanya.

Setelah beberapa hari, seorang laki-laki menelponku, ternyata dari restoran yang dulu kudatangi bersama ibuku. Dia berkata, "Anda dan istri Anda memiliki kursi dan hidangan makan malam yang telah lunas" Kami pun ke restoran itu, setiba disana .. server itu mengatakan bahwa Ibu telah membayar lunas makanan untuk saya dan istri.

Dan menulis sebuah surat berbunyi: "Anakku, sungguh saya tahu bahwa tak akan hadir bersamamu untuk kedua kalinya.

Namun, saya telah berjanji padamu, maka makan malamlah dengan uangku, saya berharap istrimu telah menggantikanku untuk makan malam
bersamamu "

Saya menangis membaca surat ibuku ... dimana saya selama ini?? di mana cintaku untuk Ibu?? Selama 21 tahun .... ....

Dikisahkan kembali dari muhadharah syekh Nabil al 'audhy-hafizhahullahu ta'ala-(كلملا دبع).

Rabu, 12 Desember 2012

Cara Mudah Menghafal


Menghafal, kedengarannya memang sangatlah gampang , Namun belum tentu juga. Ada Sebahagian orang yang sangat sulit sekali mengingat, lebih tepatnya menghafal sesuatu. tetapi, tenang, di dunia ini hampir tidak ada yang tidak mungkin. Bagi anda yang merasa dirinya kurang bisa menghafal dengan baik secara cepat, anda sangat tepat sekali jika sedang membaca informasi dari kami kali ini.
Silahkan dibaca informasi yang berjudul cara cepat menghafal berikut ini:
Roger Wolcott Sperry adalah seorang neuropsikolog yang menemukan bahwa akal manusia terdiri atas 2 bagian. Ia menemukan bahwa otak terbagi menjadi 2 bagian sisi yaitu sisi kiri dan sisi kanan.
Otak sisi kiri lebih cenderung memiliki kemampuan analisis, logis, urutan, objektif dan rasional. Dengan kata lain, otak kiri lebih dominan berhubungan dengan angka, kata-kata dan simbol.
Otak sisi kanan lebih cenderung memiliki kemampunya intuitif, subjektif, holistik (secara menyeluruh) dan sintesis. Dengan kata lain otak kanan inilah yang membantu seseorang cenderung lebih kreatif ketimbang orang yang dominan memiliki kemampuan otak kiri.
Berdasarkan sifat, otak kiri cenderung bersifat short term memory (ingatan jangka pendek) dan otak kanan bersifat long term memory (ingatan jangka panjang)
CARA CEPAT MENGHAFAL :

  • Memory Sport

Otak manusia sama seperti otot. Apabila tidak berolahraga, maka otot akan semakin lemah. Tapi jika semakin giat diolahragakan, maka otot akan semakin kuat. Begitu juga halnya dengan otak. Otak akan semakin lemah bila tidak “diolahragakan” dan akan semakin kuat bila “diolahragakan”. Maka untuk itu kita perlu “mengolahragakan” otak kita.
Salah satu cara untuk mengolahragakan otak kita adalah dengan cara memory sport. Salah satu cara yang paling gampang adalah sering-seringlah mengisi teka teki. Secara tidak langsung otak anda akan berlatih mengingat dan mengolah kata-kata

  • Relation Sistem

Merupakan salah satu teknik untuk mengingat informasi dengan cara menghubungkan informasi yang satu dengan lainnya secara aksi. Relation sistem ini seringkali dipakai untuk menghapal suatu kalimat yang berpasangan seperti vocabulary, nama negara dan ibu kotanya, nama sungai dan provinsinya, dan lainnya.
Contoh:
Kucing menabrak ember
Doni makan rujak
Menabrak dan makan adalah relation sistem aksi. Aksi tersebut adalah sebagai kalimat utama pemicu untuk menarik dan memperjelas informasi yang ada didepannya sehingga informasi yang ada didepannya tidak lupa.

  • Story Sistem

Adalah teknik untuk dapat mengingat sebuah informasi dengan cara menghubungkan informasi yang satu dengan lainnya menjadi sebuah cerita
Contoh:
Terdapat beberapa kata yaitu burung – baju – awan – coca cola – gunung – kelinci – pistol – buaya – pohon – kawah
Cara menghafal dengan story sistem ini adalah dengan membayangkannya :
Burung memakai baju, terbang ke awan minum coca cola, terbang lagi ke gunung dan bertemu kelinci yang membawa pistol untuk menembak buaya yang tidur dibawah pohon di dekat kawah.

  • Mnemonic

Adalah cara menghapal yang bersifat abstrak. Yaitu dengan cara mengubah kata abstrak menjadi benda nyata yang bisa dibayangkan. 
Mnemonic dibagi menjadi 2 tipe sistem, yaitu:

  • Sistem gambaran.
Teknik menghapal informasi yang abstrak dengan cara menggambarkan kata abstrak tersebut menjadi sesuatu yang nyata.
Contoh:
Gembira dapat digantikan dengan menggambarkan orang yang sedang bergembira. 
Yogyakarta dapat digambarkan dengan Borobudur.
Jakarta dapat mudah diingat dengan digambarkan menjadi monas.

  • Sistem persamaan bunyi.

Teknik menghapal informasi berdasarkan bentuk persamaan bunyinya. 
Contoh :
Singapura dapat lebih mudah diingat dengan mengingat kata singa
Sistem persamaan bunyi.
Teknik menghapal informasi berdasarkan bentuk persamaan bunyinya.
Irak dapat lebih mudah diingat dengan kata rak

Jumat, 07 Desember 2012

Sifat Ahli syurga/Bidadari

Nabi Sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
 
1. Hadits Abu Sa’id al-Khudri Rodiallohu 'anhu :

 إِنَّ أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً رَجُلٌ صَرَفَ اللّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ قِبَلَ الْجَنَّةِ وَمَثَّلَ لَهُ شَجَرَةً ذَاتَ ظِلٍّ فَقَالَ: أَيْ رَبِّ قَرِّبْنِي مِنْ هذِهِ الشَّجَرَةِ أَكُونُ فِي ظِلِّهَا ». فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ فِيْ دُخُوْلِهِ الْجَنَّةَ وَتًمًنٍّيْهِ إِلىَ أَنْ قَالَ فِيْ آخِرِهِ.

“Sesungguhnya ahli surga yang paling rendah tingkatannya adalah seseorang yang Allah palingkan wajahnya dari neraka kearah surga, dan ditampakkan padanya satu pohon surga yang rindang. Lalu orang itu berkata: Ya Allah dekatkanlah aku ke pohon itu agar aku bisa berteduh di bawahnya.” Lalu Nabi Sholallohu 'alaihi wa sallam terus menyebutkan angan-angan orang itu hingga akhirnya beliau bersabda:

 إِذَا انْقَطَعَتْ بِهِ الأَمَانِيُّ قَالَ اللّهُ: هُوَ لَكَ وَعَشْرَةُ أَمْثَالِهِ. قالَ: ثُمَّ يَدْخُلُ بَيْتَهُ فَتَدْخُلُ عَلَيْهِ زَوْجَتَاهُ مِنَ الحُورِ الْعِينِ فَيَقُولاَنِ : الْحَمْدُ للّهِ الَّذِي أَحْيَاكَ لَنَا وَأَحْيَانَا لَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ: مَا أُعْطِيَ أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُعْطِيتُ 

“Apabila telah habis angan-angannya maka Allah berfirman kepadanya: “Dia itu milikmu dan ditambah lagi sepuluh kali lipatnya.” Nabi bersabda: “Kemudian ia masuk rumahnya dan masuklah menemuinya dua biadadari surga, lalu keduanya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkanmu untuk kami dan yang menghidupkan kami untukmu. Lalu laki-laki itu berkata: “Tidak ada seorangpun yang dianugerahi seperti yang dianugerahkan kepadaku.” (HR. Muslim: 417)
 
2. Hadits Anas Rodiallohu 'anhu :

 إِنَّ الْحُورَ الْعِينَ لَتُغَنينَ فِي الْجَنَّةِ يَقُلْنَ: نَحْنُ الْحُورُ الْحِسَانِ خُبئْنَا لأَزْوَاجٍ كِرَامٍ 
“Sesungguhnya bidadari nanti akan bernyanyi di surga: Kami para bidadari cantik disembuyikan khusus untuk suami-suami yang mulia.” (Shahih al-Jami’: 1602)
 
3. Hadits Abu Hurairah Rodiallohu 'anhu :

 إِنَّ أَوَّلَ زُمْرَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ. وَالَّذِينَ يَلُونَهُمْ عَلَى أَشَدِّ كَوْكَبٍ دُرِّيَ، فِي السَّمَاءِ، إِضَاءةً. لاَ يَبُولُونَ، وَلاَ يَتَغَوَّطُونَ وَلاَ يَمْتَخِطُونَ وَلاَ يَتْفِلُونَ. أَمْشَاطُهُمُ الذَّهَبُ. وَرَشْحُهُمُ الْمِسْكُ. وَمَجَامِرُهُمُ الألُوَّةُ. وَأَزْوَاجُهُمُ الْحُورُ الْعِينُ. أَخْلاَقُهُمْ عَلَى خُلُقِ رَجُلٍ وَاحِدٍ. عَلَى صُورَةِ أَبِيهِمْ آدَمَ. سِتُّونَ ذِرَاعاً، فِي السَّمَاءِ
 
“Sesungguhnya kelompok pertama yang masuk surga adalah seperti rupa bulan di malam purnama. Berikutnya adalah seperti binang yang paling terang sinarnya di langit. Mereka tidak buang air kecil, tidak buang air besar, dan tidak meludah. Sisir mereka dari emas, minyak mereka adalah misik, asapannya adalah kayu gaharu, pasangan mereka adalah bidadari, akhlak mereka seperti akhlak satu orang. Bentuk (postur tubuh) mereka seperti Nabi Adam as; 60 lengan di langit.” (Bukhari, Muslim dll. Al-Jami’ al-Shaghir: 3778, Shahih al-Jami’: 2015)
 
4. Hadits Abdullah ibnu Mas’ud Rodiallohu 'anhu :

 أَوَّلُ زُمْرَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ كَأَنَّ وُجُوهَهُمْ ضَوْءُ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَالْزُّمْرَةُ الثَّانِيَةُ عَلَى لَوْنِ أَحْسَنِ كَوْكَبٍ دُريَ فِي السَّمَاءِ، لِكُل رَجُلٍ مِنْهُمْ زَوْجَتَانِ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ، عَلَى كُل زَوْجَةٍ سَبْعُونَ حُلَّةً، يُرَىٰ مُخُّ سُوقِهِمَا مِنْ وَرَاءِ لُحُومِهِمَا وَحُلَلِهِمَا، كَمَا يُرَىٰ الشَّرَابُ الأَحْمَرُ فِي الزُّجَاجَةِ الْبَيْضَاءِ 
 
“Kelompok pertama kali yang masuk surga, seolah wajah mereka cahaya rembulan di malam purnama. Kelompok kedua seperti bintang kejora yang terbaik di langit. Bagi setiap orang dari ahli surga itu dua bidadari surga. Pada setiap bidadari ada 70 perhiasan. Sumsum kakinya dapat terlihat dari balik daging dan perhiasannya, sebagaimana minuman merah dapat dilihat di gelas putih.” (HR. Thabrani dengan sanad shahih, dan Baihaqi dengan sanad hasan. Hadits hasan, shahih lighairi: Shahih al-Targhib: 3745)
Dalam lafazh Tirmidzi:

 وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ زَوْجَتَانِ يُرَى مُخُّ سُوْقِهِمَا منْ وَرَاءِ الَّلحْمِ مِنَ الْحُسْنِ، لاَ اخْتِلاَفَ بَيْنَهُمْ وَلاَ تَبَاغُضَ قُلُوبُهُمْ قَلْبُ رَجُلٍ وَاحِدٍ يُسَبِّحونَ الله بُكْرَةً وَعَشِيَّا

“Masing-masing mendapat dua bidadari, sumsum kakinya dapat dilihat dari balik daging karena begitu cantiknya, tidak ada perselisihan di antara mereka, dan tidak ada saling benci di hati mereka. Hati mereka seperti hati satu orang, mereka semua bertasbih kepada Allah pagi dan sore.”
 
5. Hadits al-Miqdam Ibn Ma’di Karib Rodiallohu 'anhu :

 لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللَّهِ سَبْعُ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيَرَىٰ مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُحَلَّىٰ حُلَّةَ الإِيمَانِ، وَيُزَوجُ اثْنَيْنِ وَسَبْعِينَ زَوْجَةً مِنَ الْحُورِ الْعِينِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ مِنَ الْفَزَعِ الأَكْبَرِ، وَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ تَاجُ الْوَقَارِ، الْيَاقُوتَةُ مِنْهُ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا، وَيَشْفَعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَاناً مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ 
 
“Orang yang mati syahid memiliki 7 [yang benar 8] keistimewaan di sisi Allah: (1) diampuni dosanya di awal kucuran darahnya, (2) melihat tempat duduknya dari surga, (3) dihiasi dengan perhiasan iman, (4) dinikahkan dengan 72 bidadari surga, (5) diamankan dari adzab kubur, (6) aman dari goncangan dahsyat di hari qiamat, (7) diletakkan di atas kepalanya mahkota kewibawaan; satu permata dari padanya lebih baik dari pada dunia seisinya, (8) memberi syafaat kepada 70 orang dari kerabatnya.” (Ahmad, Tirmidzi dan Baihaqi. Silsilah al-Shahihah: 3213, Shahih al-Jami’: 5182)
 
6. Hadits Mu’adz ibn Anas Rodiallohu 'anhu ;

 مَنْ كَظَمَ غَيْظاً وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّه سُبْحَانَهُ عَلَى رُؤُوسِ الْخَلائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنَ الْحُورِ الْعينِ مَا شَاءَ 
“Barangsiapa mampu menahan amarah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah memanggilnya di hadapan para makhluk hingga Dia memberikan hak untuk memilih yang ia suka dari bidadari.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, hadits hasan. Lihat Shahih al-Jami’: 6518)

7.  Hadits Mu’adz t;

 لاَ تُؤْذِي امْرَأةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا. إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ: لاَ تُؤْذِيهِ، قَاتَلَكِ الله، فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَك دَخِيلٌ يُوشِكَ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا 

“Tidak ada seorang isteri yang menyakiti suaminya di dunia melainkan bidadari yang menjadi pasangannya berkata: "Jangan engkau sakiti dia -semoga Allah melaknatmu- sesungguhnya ia hanyalah bertamu (di rumahmu), hampir saja ia berpisah meninggalkanmu menuju kami.” (Shahih al-Jami’: 7192)
 
Imam Ibnul Qoyyim berkata:
 
"Jika anda bertanya tentang mempelai wanita dan istri-istri penduduk surga, maka mereka adalah gadis-gadis remaja yang montok dan sebaya. Pada diri mereka mengalir darah muda, pipi mereka halus dan segar bagaikan bunga dan apel, dada mereka kencang dan bundar bagai delima, gigi mereka bagaikan intan mutu manikam, keindahan dan kelembutan mereka selalu menjadi kerubutan.

Elok wajahnya bagaikan terangnya matahari, kilauan cahaya terpancar dari gigi-giginya dikala tersenyum. Jika anda dapatkan cintanya, maka katakan semau anda tentang dua cinta yang bertaut. Jika anda mengajaknya berbincang (tentu anda begitu berbunga), bagaimana pula rasanya jika pembicaraan itu antara dua kekasih (yang penuh rayu, canda dan pujian). Keindahan wajahnya terlihat sepenuh pipi, seakan-akan anda melihat ke cermin yang bersih mengkilat (maksudnya, menggambarkan persamaan antara keindahan paras bidadari dengan cermin yang bersih berkilau setelah dicuci dan dibersihkan, sehingga tampak jelas keindahan dan kecantikan). Bagian dalam betisnya bisa terlihat dari luar, seakan tidak terhalangi oleh kulit, tulang maupun perhiasannya.

Andaikan ia tampil (muncul) di dunia, niscaya seisi bumi dari barat hingga timur akan mencium wanginya, dan setiap lisan makhluk hidup akan mengucapkan tahlil, tasbih, dan takbir karena terperangah dan terpesona. Dan niscaya antara dua ufuk akan menjadi indah berseri berhias dengannya. Setiap mata akan menjadi buta, sinar mentari akan pudar sebagaimana matahari mengalahkan sinar bintang. Pasti semua yang melihatnya di seluruh muka bumi akan beriman kepada Allah Yang Maha hidup lagi Maha Qayyum (Tegak lagi Menegakkan). Kerudung di kepalanya lebih baik daripada dunia seisinya. Hasratnya terhadap suami melebihi semua keinginan dan cita-citanya. Tiada hari berlalu melainkan akan semakin menambah keindahan dan kecantikan dirinya. Tiada jarak yang ditempuh melainkan semakin menambah rasa cinta dan hasratnya. Bidadari adalah gadis yang dibebaskan dari kehamilan, melahirkan, haidh dan nifas, disucikan dari ingus, ludah, air seni, dan air tinja, serta semua kotoran.

Masa remajanya tidak akan sirna, keindahan pakaiannya tidak akan usang, kecantikannya tidak akan memudar, hasrat dan nafsunya tidak akan melemah, pandangan matanya hanya tertuju kepada suami, sekali-kali tidak menginginkan yang lain. Begitu pula suami akan selalu tertuju padanya. Bidadarinya adalah puncak dari angan-angan dan nafsunya. Jika ia melihat kepadanya, maka bidadarinya akan membahagiakan dirinya. Jika ia minta kepadanya pasti akan dituruti. Apabila ia tidak di tempat, maka ia akan menjaganya. Suaminya senantiasa dalam dirinya, di manapun berada. Suaminya adalah puncak dari angan-angan dan rasa damainya.
Di samping itu, bidadari ini tidak pernah dijamah sebelumnya, baik oleh bangsa manusia maupun bangsa jin. Setiap kali suami memandangnya maka rasa senang dan suka cita akan memenuhi rongga dadanya. Setiap kali ia ajak bicara maka keindahan intan mutu manikam akan memenuhi pendengarannya. Jika ia muncul maka seisi istana dan tiap kamar di dalamnya akan dipenuhi cahaya.
Jika anda bertanya tentang usianya, maka mereka adalah gadis-gadis remaja yang sebaya dan sedang ranum-ranumnya.

Jika anda bertanya tentang keelokan wajahnya, maka apakah anda telah melihat eloknya matahari dan bulan?!

Jika anda bertanya tentang hitam matanya, maka ia adalah sebaik-baik yang anda saksikan, mata yang putih bersih dengan bulatan hitam bola mata yang begitu pekat menawan.
Jika anda bertanya tentang bentuk fisiknya, maka apakah anda pernah melihat ranting pohon yang paling indah yang pernah anda temukan?

Jika anda bertanya tentang warna kulitnya, maka cerahnya bagaikan batu rubi dan marjan.
Jika anda bertanya tentang elok budinya, maka mereka adalah gadis-gadis yang sangat baik penuh kebajikan, yang menggabungkan antara keindahan wajah dan kesopanan. Maka merekapun dianugerahi kecantikan luar dan dalam. Mereka adalah kebahagiaan jiwa dan penghias mata.
Jika anda bertanya tentang baiknya pergaulan dan pelayanan mereka, maka tidak ada lagi kelezatan selainnya. Mereka adalah gadis-gadis yang sangat dicintai suami karena kebaktian dan pelayanannya yang paripurna, yang hidup seirama dengan suami penuh pesona harmoni dan asmara .
Apa yang anda katakan apabila seorang gadis tertawa di depan suaminya maka sorga yang indah itu menjadi bersinar? Apabila ia berpindah dari satu istana ke istana lainnya, anda akan mengatakan: "Ini matahari yang berpindah-pindah di antara garis edarnya." Apabila ia bercanda, kejar mengejar dengan suami, duhai… alangkah indahnya…!! (dari kitab Hadil Arwah Ila Biladil Afrah (h.359-360)

MACAM-MACAM ‘ILLAT QIYAS


Jumhur ulama memandang bahwa Qiyas merupakan salah satu di antara dalil syar’i (sumber hukum) yang menduduki martabat keempat dari dalil-dalil syar’i setelah Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma’. Qiyas digunakan ketika pada suatu fakta tidak didapati hukum dari nash-nash Al Qur`an, As Sunnah, atau Ijma’. Jika hukum syara’ atas suatu fakta ditetapkan melalui nash dan didasarkan pada suatu illat (motif penetapan hukum), maka hukum syara’ itu dapat diterapkan pada fakta lain –yang tidak ada nashnya– yang memiliki illat yang sama.

Dengan demikian, Qiyas sangat urgen dalam khazanah fiqih Islam, karena Qiyas dapat dijadikan dasar untuk menghukumi fakta-fakta yang tidak ada nashnya dalam Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma’. Dengan kata lain, Qiyas mengatasi problem keterbatasan nash pada satu sisi dan problem manusia yang tak terbatas pada sisi lain. Karena pentingnya Qiyas inilah, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang tidak membutuhkan qiyas.” Sedang Imam Al Muzani berkata, “Para fuqaha sejak masa Rasul SAW hingga hari ini selalu menggunakan qiyas-qiyas dalam masalah fiqh dan dalam semua hukum dalam urusan agama mereka.”

Qiyas menurut etimologis berarti mengukur (at taqdir). Menurut terminologi ushul fiqih, Qiyas adalah menyamakan (ilhaq) masalah cabang dengan masalah pokok dari segi hukum syara’ karena adanya kesamaan illat pada masalah cabang dan masalah pokok. Definisi Qiyas ini juga sekaligus menunjukkan adanya 4 (empat) rukun Qiyas, yaitu : (1) masalah pokok (al ashlu), (2) masalah cabang (al far’u), (3) hukum masalah pokok (hukm al ashli), dan (4) illat. Jika keempat rukun qiyas ini ada, maka qiyas dapat dilakukan dan akan dihasilkan hukum untuk masalah cabang (hukm al far’i). Misalnya haramnya ijarah (seperti menyewa mobil atau komputer) pada saat adzan Jumat yang diqiyaskan pada haramnya jual beli saat adzan Jumat, berdasarkan firman Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli…” (QS Al Jumuah : 9)

Analisis rukun Qiyas pada ayat tersebut menunjukkan bahwa keempat rukun Qiyas telah ada, yaitu : (1) jual-beli (al bai’) pada saat adzan Jumat sebagai masalah pokok, (2) ijarah sebagai masalah cabang, (3) haramnya jual-beli saat adzan Jumat sebagai hukum masalah pokok, yang dapat diterapkan juga pada masalah cabang (ijarah), dan (4) illat, yaitu melalaikan shalat Jumat. Dengan adanya keempat rukun Qiyas tersebut, dihasilkan hukum masalah cabang, yaitu haramnya ijarah pada saat adzan Jumat.

Dari keempat rukun Qiyas tersebut, illat menduduki posisi strategis, karena illat itulah yang menjadikan Qiyas dapat berfungsi. Qiyas hanya dapat terlaksana manakala masalah pokok (al maqiis) dan masalah cabang (al maqiis ‘alayhi) mempunyai titik temu yang sama. Titik temu inilah yang yang merupakan latar belakang penetapan hukum, atau illat.

Lebih dari itu, illat berkaitan dengan keabsahan Qiyas sebagai sumber hukum syara’. Sebab penetapan (itsbat) keabsahan suatu sumber hukum haruslah didasarkan pada dalil-dalil qath’i, bukan dalil-dalil zhanni. Qiyas dapat dianggap absah sebagai sumber hukum, karena eksistensi Qiyas sebenarnya kembali pada sumber-sumber hukum lain, yaitu Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma’ Shahabat, yang keabsahannya telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’i. Karena Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma’ Shahabat telah terbukti kehujjahannya sebagai sumber hukum berdasarkan dalil-dalil qath’i, maka Qiyas yang menggunakan illat dari ketiga sumber hukum ini, berarti absah juga sebagai sumber hukum. Inilah posisi strategis illat dalam Qiyas.

Illat-illat yang diambil dari Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma’ Shahabat inilah yang disebut dengan illat syar’iyah, yang menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, akan menjadikan Qiyas sebagai Qiyas syar’i, yaitu Qiyas yang absah (mu’tabar) menurut syara’. Dengan demikian, jika Qiyas tidak menggunakan illat syar’iyyah, maka Qiyas ini tidak ada nilainya dalam istidlal (penggunaan dalil) untuk menetapkan hukum-hukum syara’ dan Qiyas seperti ini pun tidak dapat dianggap sebagai suatu dalil syar’i.

Tulisan ini bertujuan menjelaskan illat-illat syar’iyah tersebut lebih lanjut, yang menurut Taqiyuddin An Nabhani, ada 4 (empat) macam, yaitu illat sharahah, illat dalalah, illat istinbath, dan illat qiyas. Kitab beliau yang khusus membahas masalah ini kitab Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah Juz III (Ushul Fiqih), pada bab Qiyas (hal. 313-358).

Definisi Illat

Illat menurut Taqiyuddin An Nabhani adalah suatu perkara yang karenanya suatu hukum disyariatkan (asy syai`u alladzi min ajlihi wujida al hukmu). Atau dengan kata lain, illat adalah suatu perkara yang menjadi motif/latar belakang penetapan (pensyariatan) suatu hukum (al amru al baa’itsu ala al hukm). Illat disebut juga ma’quul al nash, dalam arti illat itulah yang menjadikan akal menghukumi masalah cabang dengan hukum yang ada pada masalah pokok, karena masalah pokok dan masalah cabang mempunyai illat yang sama.

Illat merupakan jawaban dari pertanyaan mengapa suatu hukum disyariatkan. Jawaban inilah yang oleh para ulama ushul disebut dengan istilah washfun munasibun, yaitu sifat (makna) yang sesuai yang menjadi latar belakang penetapan hukum, atau washfum mufhamun, suatu sifat (makna) yang dapat dipahami sebagai latar belakang penetapan hukum. Sifat (makna) ini harus sedemikian rupa sehingga memberikan pengaruh (atsar) pada hukum. Jika tidak memberi pengaruh hukum, maka sifat itu bukanlah illat. Misalnya sabda Nabi SAW :

“Tidaklah seorang hakim memberikan keputusan hukum sedangkan dia sedang marah.”

Hadits ini menetapkan keharaman atas seorang hakim (qadhi) untuk mengadili perkara jika hakim tersebut sedang marah. Illat keharamannya adalah kemarahan (al ghadhab), sebab kemarahan dapat mengacaukan konsentrasi pikiran. Kemarahan ini merupakan sifat yang sesuai (washfun munasibun) untuk menjadi illat haramnya hakim mengadili perkara ketika hakim sedang marah. Adapun sifat lain dari hakim, misalnya berbadan tinggi atau berkulit hitam, bukanlah sifat yang yang berpengaruh terhadap hukum. Karena itu, sifat seorang hakim yang berbadan tinggi atau berkulit hitam, tidak dapat menjadi illat keharaman memutuskan perkara.

Kemudian perlu dipahami pula bahwa illat berbeda dengan sebab (as sabab), karena illat merupakan motif penetapan hukum (sabab tasyri’ al hukm), sedang sebab merupakan tanda pelaksanaan hukum dalam kenyataan (sabab wujud al hukm). Jadi kedudukan illat sebenarnya sederajat dengan dalil suatu hukum syara’, yaitu illat itu ada sebelum atau bersamaan dengan hukum. Kedudukan illat adalah seperti halnya nash yang mendasari suatu hukum. Sedang kedudukan sebab terletak setelah penyariatan hukum, dan menjadi tanda bagi pelaksanaan hukum dalam kenyataan. Misalnya munculnya hilal dan ru`yatul hilal, adalah sebab dari pelaksanaan shaum Ramadhan, sesuai sabda Nabi SAW :

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal (bulan sabit).”

Munculnya hilal dan ru`yatul hilal, berdasarkan hadits ini, dikatakan sebagai sebab pelaksanaan puasa Ramadhan, bukan illat puasa Ramadhan. Ini dikarenakan dalil pensyariatan puasa Ramadhan bukanlah hadits Rasulullah tersebut, melainkan nash-nash yang lain, yang merupakan dalil penetapan adanya kewajiban puasa Ramadhan, misalnya firman Allah SWT :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa…” (QS Al Baqarah : 183)

Jadi, sebab berbeda dengan illat, karena illat adalah latar belakang penetapan hukum, yang kedudukannya terletak sebelum hukum disyariatkan. Misalnya illat melalaikan orang dari shalat Jumat, yang mendasari keharaman jual beli saat adzan Jumat, yang diistinbath dari QS Al Jumuah ayat 9. Illat ini menjadi alasan mengapa disyariatkan hukum haramnya jual beli pada saat adzan Jumat dikumandangkan.

Illat juga tidak sama dengan hikmah. Dalam pandangan Taqiyuddin An Nabhani, hikmah adalah hasil (natijah) atau tujuan (ghayah) atau akibat (‘aqibah) dari penerapan hukum syara’. Ini berbeda dengan illat, sebab illat adalah motif/latar belakang (al baa’its/al daafi’) penetapan hukum. Misalnya firman Allah :

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS Al Ankabuut : 45)

Ayat ini menunjukkan bahwa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar adalah hikmah shalat, bukan illat shalat. Hikmah tersebut akan mungkin terwujud setelah shalat ditunaikan. Hal ini berbeda dengan illat, sebab kedudukan illat sama dengan nash, yaitu ada sebelum adanya hukum, bukan sesudah adanya hukum sebagaimana halnya hikmah.

Illat juga kadang dirancukan dengan istilah manath, padahal illat dan manath tidak sama. Menurut Taqiyuddin An Nabhani, illat termasuk pembahasan syar’i yang wajib didasarkan pada dalil syar’i. Sedangkan manath adalah pembahasan yang non syar’i, yang tidak bersangkut paut dengan nash-nash syar’i. Manath adalah fakta yang kepadanya suatu hukum syara’ akan diterapkan (al waqi’ alladzi yuthabbaqu ‘alayhi al hukm). Sedang istilah tahqiq al manath, artinya adalah pemeriksaan/pengkajian fakta/realitas yang akan menjadi sasaran penerapan hukum. Jika kita katakan bahwa khamr itu haram, maka keharaman khamr adalah hukum syara’. Meneliti apakah suatu minuman termasuk khamr atau bukan, adalah tahqiq al manath. Sedang manath-nya sendiri adalah, suatu minuman tertentu yang sedang kita teliti.

Hal ini berbeda dengan illat dan juga tahqiq al illat, sebab illat adalah adalah suatu perkara yang melatarbelakangi pensyariatan hukum, dan tahqiq al illat adalah kajian terhadap latar belakang penetapan hukum. Kegiatan tahqiq al illat berobjek nash-nash syara’ untuk menentukan apakah suatu nash mengandung illat atau tidak misalnya, misalnya menelaah apakah ada illat pada firman Allah SWT :

“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara oarang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS Al Hasyr : 7)

Macam-Macam Illat

Menurut Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz III hal. 343, berdasarkan istiqra` (penelaahan induktif) terhadap nash-nash syara’ dalam Al Qur`an dan As Sunnah, terdapat 4 (empat) macam illat yang tergolong dalam illat syar’iyah, yaitu illat sharahah, illat dalalah, illat istinbath, dan illat qiyas. Pembagian illat menjadi empat macam ini didasarkan pada aspek metode diperolehnya illat dari nash-nash syara’ yang ada.

Illat Sharahah

Illat sharahah adalah illat yang terdapat dalam nash yang secara sharahah (jelas) menunjukkan adanya illat. Illat sharahah ini ciri utamanya adalah digunakannya lafazh-lafazh tertentu yang dalam bahasa Arab, menunjukkan adanya illat (li at ta’lil). Illat sharahah ini ada dua macam :

Pertama, menggunakan secara jelas lafazh li ajli atau min ajli (berarti : karena), dan semisalnya. Misalnya, sabda Nabi SAW :

“Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging-daging kurban karena untuk memberi makan orang-orang Baduwi yang datang berombongan lagi membutuhkan. [Sekarang] simpanlah daging-daging kurban itu ”

Hukum yang terdapat dalam hadits ini adalah larangan menyimpan daging kurban karena illat tertentu (yaitu illat sharahah), yang terdapat pada kalimat li ajli ad daafah, yaitu daging kurban supaya dapat diberikan kepada rombongan orang Baduwi yang berkeliling dan membutuhkan daging.

Kedua, menggunakan secara jelas huruf-huruf ta’lil (huruf yang menunjukkan illat), seperti kay, laam, ba`, dan inna. Yang menggunakan kay (berarti : agar/supaya), misalnya firman Allah SWT :

 “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara oarang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS Al Hasyr : 7)

Ayat ini menjelaskan bahwa pemberian fai` Bani Nadhir oleh Rasulullah kepada kaum Muhajirin saja, tidak termasuk kaum Anshar, dikarenakan illat tertentu (berupa illat sharahah), yakni agar harta tidak beredar di antara orang kaya saja, tetapi bergulir kepada selain orang kaya. Yang menggunakan laam (dibaca li, berarti karena) misalnya firman Allah SWT :

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya) Kami kawinkan kamu (Muhammad) dengan dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu`min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka.” (QS Al Ahzab : 37)

 Ayat ini mengandung illat dikawinkannya Rasulullah SAW dengan Zainab yang telah dicerai oleh Zaid, yaitu supaya kaum mukminin tidak merasa berat hati untuk mengawini bekas isteri dari anak-anak angkat mereka.

Yang menggunakan ba` (dibaca bi, berarti karena/sebab) misalnya firman Allah SWT :

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembuit terhadap mereka.“ (QS Ali ‘Imran : 159)

Dalam ayat ini terdapat illat sharahah dengan huruf ba`, yakni pada kalimat fabimaa rahmatin minallah (maka disebabkan rahmat dari Allah). Jadi illat yang menyebabkan sifat lembut pada Nabi SAW, adalah karena adanya rahmat Allah SWT.

Yang menggunakan inna (berarti : karena/sesungguhnya) misalnya sabda Nabi SAW :

“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. [Sekarang] berziarahlah kalian ke kuburan, karena ziarah kubur itu mengingatkan akhirat.” (HR Malik, dari Anas bin Malik)

 Hadits mengandung illat sharahah dengan huruf inna, pada kalimat fainnaha tudzakkiru al akhirah (karena ziarah kubur itu mengingatkan akhirat). Jadi illat disyaraitkannya ziarah kubur adalah untuk mengingatkan akhirat.

 Illat Dalalah

Illat dalalah adalah illat yang diambil dari tuntutan/konsekuensi yang dipahami dari makna lafazh (madlul al lafazh). Disebut illat dalalah, karena illat ini diperoleh dari dalalah lafazh, yaitu makna yang ditunjukkan oleh lafazh. Illat ini tidak diambil diambil dari lafazh-lafazh tertentu yang dalam bahasa Arab menunjukkan adanya illat (li at ta’lil), seperti min ajli, li ajli, dan sejenisnya, tetapi diambil dari mafhum lafazh, bukan dari manthuq lafazh. Ciri adanya illat dalalah ini ada dua :

Pertama, digunakannya lafazh-lafazh tertentu yang menurut bahasa Arab tidak digunakan untuk menunjukkan illat (li ta’lil) dalam ungkapan manthuqnya, tetapi dalam ungkapan mafhumnya, menunjukkan adanya illat, misalnya fa` ta’qib (kata fa` yang menunjukkan tertib/urutan, bermakna “maka”), dan hatta al ghayah (kata hatta yang menunjukkan tujuan, berarti “hingga”). Yang menggunakan fa` ta’qib misalnya :

“Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.”

Konsekuensi kepemilikan tanah akibat aktivitas menghidupkan tanah (ihya`), yang ditunjukkan oleh penggunaan fa` ta`qib (atau fa` tasbiib), mengandung arti bahwa kegiatan menghidupkan tanah, adalah illat bagi kepemilikan tanah.

Yang menggunakan kata hatta untuk menunjukkan tujuan, misalnya firman Allah SWT :

“Dan jika seorang di antara orang-orang musrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (QS At Taubah : 6)

 Dari ayat ini, dipahami bahwa illat melindungi orang musyrik adalah memberikan kesempatan kepadanya untuk mendengar firman Allah, yakni agar dakwah sampai kepadanya.

 Kedua, bahwasanya ketika nash tertentu menyebutkan hukum, disebutkan juga adanya washfum mufhamun munasib, yaitu sifat atau makna tertentu yang dapat dipahami dan sesuai yang menjadi illat hukum. Misalnya sabda Nabi SAW :  “Pembunuh tidak berhak mewarisi”

Hadits ini mengandung illat keluarnya seseorang dari golongan ahli waris, yakni karena seseorang itu pembunuh (al qaatil). Kata al qaatil ini merupakan sifat atau makna yang dapat dipahami sebagai illat hukum. Contoh lainnya sabda Nabi SAW :

“Pada domba yang digembalakan, ada kewajiban zakat.”

Kata as saa`imah (yang digembalakan) dalam hadits ini merupakan illat kewajiban zakat.

Illat Istinbath

Illat istinbath adalah illat yang diistinbath dari susunan (tarkib) nash, yang tidak disebutkan secara sharahah (sebagaimana illat sharahah) ataupun secara dalalah (sebagaimana illat dalalah). Illat ini dapat diambil dari satu nash atau beberapa nash. Ciri utama illat istinbath adalah adanya keadaan tertentu di mana syara’ memerintahkan atau melarang sesuatu. Lalu syara’ melarang apa yang diperintahkan, atau memerintahkan apa yang dilarang, setelah keadaan tertentu itu lenyap. Dari sini dapat dipahami bahwa keadaan tertentu tadi, adalah illat dari hukum yang ada. Misalnya illat haramnya jual beli saat adzan Jumat, yaitu dapat melalaikan shalat Jumat, yang diistinbath dari surat Al Jumuah ayat 9 dan 10. Dalam ayat 9 Allah SWT berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli…” (QS Al Jumuah : 9)

 Pada ayat ini Allah SWT melarang jual beli pada kondisi tertentu, yaitu saat adzan Jumat. Lalu pada ayat berikutnya, Allah SWT berfirman :

“Apabila telah ditunaikan shalat (jumat), maka bertebaranlah kamu di uka bumi dan carilah karunia Allah…” (QS Al Jumuah : 10).

Pada ayat ini Allah memerintahkan bertebaran di muka bumi dan mencari karunia Allah, atau dengan kata lain, Allah membolehkan kembali jual beli. Kebolehan jual beli ini terkait dengan lenyapnya kondisi tertentu yang menjadi illat larangan jual beli, yaitu pelaksanaan shalat Jumat. Dari sini lalu diisitinbath illat larangan jual beli pada saat adzan Jumat, yaitu melalaikan shalat Jumat. Illat ini tidak disebut secara sharahah ataupun dalalah. Contoh lainnya adalah illat kepemilikan umum pada suatu benda, yaitu menjadi kebutuhan orang banyak. Nabi SAW bersabda :

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga benda : air, padang gembalaan, dan api.”

Dalam hadits ini Nabi SAW menyatakan bahwa air adalah milik bersama, atau dengan kata lain, Nabi SAW melarang umatnya untuk memiliki air secara individu. Namun dalam hadits lain Nabi SAW membolehkan orang-orang di Tha`if dan Khaybar untuk memiliki air secara individu. Dari sini lalu diistinbath illat yang melatarbelakangi mengapa air menjadi milik bersama, yaitu karena air dibutuhkan oleh orang banyak (wujud al hajah lil jamaah). Jadi larangan memiliki air secara individu pada hadits di atas, bukan karena zat airnya itu sendiri, tetapi karena kondisi tertentu yang terjadi pada air, yaitu menjadi kebutuhan orang banyak. Hal ini dibuktikan pada bolehnya orang-orang Tha`if dan Khaybar untuk memiliki air secara individu, karena air di sana jumlahnya mencukupi, sehingga orang banyak tidak mempunyai kebutuhan terhadap air.

 Illat Qiyas

Illat Qiyas adalah illat baru –yang diperoleh dari illat yang lama– yang dapat diqiyaskan pada illat-illat lain. Illat Qiyas ini hanya terwujud pada illat dalalah, dengan syarat illat dalalah ini mempunyai washfun mufhamun, yakni sifat atau makna tertentu yang dapat dipahami sebagai illat, yang berpengaruh terhadap hukum. Dari illat lama ini lalu diperoleh illat baru, yang disebut illat Qiyas. Jadi illat Qiyas adalah illat dari illat, atau dengan kata lain, illat baru yang lahir dari illat lama, karena illat lama masih dapat dipahami mempunyai illat yang lain. Misalnya sabda Nabi SAW :

“Tidaklah seorang hakim memberikan keputusan hukum sedangkan dia sedang marah.”

Dalam hadits ini terdapat illat (yaitu illat dalalah) dilarangnya hakim mengadili, yaitu keadaannya yang sedang marah. Tetapi kemarahan (al ghadhab) ini adalah suatu washfum mufhamun, yaitu sifat/keadaan tertentu yang dapat dimengerti sebagai illat, yang mempunyai pengaruh pada aktivitas mengadili perkara. Sebab, dalam kondisi marah, seorang hakim akan mengalami kekacauan pikiran dan kelabilan emosi. “Kekacauan pikiran dan kelabilan emosi” ini merupakan illat baru, yang dihasilkan dari illat lama, yaitu “kemarahan”. Illat baru tersebut disebut illat Qiyas, dalam arti dapat diqiyaskan pada illat-illat lain yang bertitik temu pada sifat tertentu yang sama, yaitu “kekacauan pikiran dan kelabilan emosi”. Illat-illat lain ini misalnya, keadaan lapar atau sedih. Jadi dengan illat qiyas tersebut dihasilkan hukum-hukum baru, misalnya larangan mengadili perkara bagi hakim yang sedang kelaparan, atau sedang mengalami kesedihan.

 Penutup

Pembahasan tentang illat-illat Qiyas ini sesungguhnya pembahasan yang sangat mendalam dan canggih, yang tidak cukup diuraikan dalam tulisan yang singkat dan terbatas ini. Karena itu, kendatipun Qiyas sangat urgen untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak disinggung dalam nash Al Kitab ataupun As Sunnah, Qiyas tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan sembrono. Maka, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menegaskan, bahwa Qiyas tidak boleh dilakukan kecuali oleh seorang mujtahid. Sebagian ulama menyatakan,”Jika Anda ingin mengetahui kedalaman ilmu seseorang, perhatikan bagaimana dia melakukan Qiyas.” Wallahu a’lam.

Jumat, 23 November 2012

Situs Islam Palsu

Semaraknya dunia maya (internet) telah mengiasi kehidupan kita, bahkan seringkali dalam aktifitas keseharian internet selalu menjadi mediator utama, seperti dalam aktifitas bekerja, belajar, bahkan sampai hal  yang bersipat judipun (negativ) tak pernah luput dari cucur jabar katifitas dalam internet.

Begitu pula ada tangan-tangan nakal yg menggunakan media internet ini dengan tidak tanggung jawab, seperti hanya keinginan agar situs (website)nya banyak di kunjungi, dengan segala macam cara.
seperti dengan mengatas namakan AGAMA.

Berikut saya Lampirkan Beberapa situs/website yg mengatas namakan AGAMA ISLAM, namun dalam konten/posting tidaklah berbobot dengan apa yang di tuntut oleh agama ISLAM :


Islam exposed : http://www.islam-exposed.org/  
Freedom         : http://www.faithfreedom.orgFath/
Islam Watch    : http://www.islam-watch.org/
Nuru Al-hayat : http://www.light-of-life.com/
Islam Religion  : http://www.thereligionofpeace.com/
Jihad watch     :  http://www.jihadwatch.org/
Prophet Of Doom : http://www.prophetofdoom.net/
Apostates Of Islam : http://www.apostatesofislam.com/index.htm

Rabu, 07 November 2012

Mengenal Hukum-Hukum Haid


Mengenal Hukum-Hukum Haid

Pembahasan fiqhi kita pada edisi ini sudah sampai pada bab terakhir dari kitab tentang thaharah (bersuci), yaitu bab tentang haid, nifas dan istihadhah. Bab ini termasuk bab terpenting dalam masalah thaharah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abidin -rahimahullah- dalam Radd Al-Muhtar (1/282), “Mengetahui masalah-masalah yang ada di dalamnya termasuk dari perkara-perkara penting yang terbesar, karena banyak sekali hukum-hukum yang dibangun dari masalah (haid) ini.” Karenanya wajib atas seorang wanita atau yang bertanggung jawab terhadapnya untuk mempelajari masalah haid ini. Asy-Syarbini  -rahimahullah- berkata dalam Mughni Al-Muhtaj (1/120), “Wajib atas wanita untuk mempelajari ilmu yang dia butuhkan berupa hukum-hukum haid, istihadhah, dan nifas. Kalau suaminya berilmu tentangnya maka dia harus mengajari istrinya, dan kalau tidak maka boleh bagi wanita tersebut untuk keluar rumah guna bertanya kepada ulama, bahkan itu wajib atasnya. Dan diharamkan bagi suaminya (dalam hal ini) untuk melarangnya keluar, kecuali kalau dia (suami) yang bertanya lalu mengabarkan jawabannya kepada istrinya sehingga istrinya tidak perlu keluar.” 
Dan sudah masyhur di kalangan ulama bahwa bab haid ini termasuk dari bab tersulit dalam bab-bab fiqhi, sampai-sampai masyhur dari Imam Ahmad -rahimahullah- bahwa beliau berkata, “Saya duduk mempelajari masalah haid selama 9 tahun sampai akhirnya saya bisa memahaminya.” Karenanya untuk mendekatkan pemahaman masalah ini kepada kaum muslimin sekalian -terkhusus kaum muslimah-, kami mencoba untuk meringkas masalah-masalah yang terdapat dalam bab haid ini, wallahul muwaffiq.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa darah yang keluar dari kemaluan wanita ada tiga jenis: Darah haid, darah nifas, dan darah istihadhah.

Definisi Haid.
Haid secara bahasa bermakna mengalir.
Adapun secara istilah, Al-Bahuti berkata, “Dia adalah darah kebiasaan wanita yang berasal dari dasar rahim, pada waktu-waktu tertentu.” (Ar-Raudh Al-Murbi’ -Hasyiah Ibni Qasim-: 1/370) Dan sebagian ulama ada yang menambahkan definisinya: Bukan dikarenakan sebab melahirkan.
Ucapan Al-Bahuti, “Darah kebiasaan,” maka bukan tergolong haid, darah yang keluar karena adanya penyakit dan semacamnya.
Kalimat ‘dalam rahim, menunjukkan darah istihadhah bukanlah haid karena dia berasal dari urat yang pecah yang bernama al-adzil.
Pada waktu-waktu tertentu’ maksudnya: Darah haid ini keluar pada waktu-waktu tertentu saja, yang mana waktu tertentu tersebut sudah diketahui oleh setiap wanita dan mereka menamakannya sebagai adat keluarnya haid.
Bukan dikarenakan sebab melahirkan’, keluar darinya darah nifas, karena dia keluar akibat melahirkan.
[Lihat: Al-Ahkam Al-Mutarattibah ala Al-Haidh wa An-Nifas wa Al-Istihadhah hal. 13-14]

Ciri-Ciri Darah Haid.
Dia adalah darah tebal yang keluar dari rahim, berwarna hitam lagi busuk baunya, dan setelah keluar tetap dalam keadaan cair.
Ciri-ciri di atas harus diperhatikan dengan baik, karena akan diterangkan bahwa darah istihadhah mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengannya. Sementara hukum-hukum haid dan istihadhah itu berbeda. Karenanya barangsiapa yang tidak bisa membedakan antara kedua jenis darah ini maka dia akan terjatuh dalam kesalahan dalam memberikan hukum pada wanita yang terkena haid atau istihadhah.

Najisnya Darah Haid.
Darah haid adalah najis berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran (najis).” (QS. Al-Baqarah: 222). Adapun dari As-Sunnah, maka Rasulullah  bersabda tentang pakaian yang terkena darah haid, “Hendaknya dia mengeruknya lalu menggosoknya dengan air lalu menyiramnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Asma` bintu Abi Bakr) Dan ini jelas menunjukkan najisnya. Dan An-Nawawi menukil ijma’ kaum muslimin akan najisnya darah haid.

Penentuan Masa Haid.
Ada dua perkara yang dijadikan sandaran dalam menentukan masa haid:

  • Adat. Yaitu lama biasanya darah haid keluar dari seorang wanita setiap bulannya. Misalnya kalau setiap bulan darah haidnya keluar selama 7 hari, maka berarti adat haidnya 7 hari. Kalau biasanya haid keluar setiap akhir bulan selama sekitar 5 atau 6 hari, maka berarti adat dia setiap akhir bulan berkisar antara 5 atau 6 hari. Demikian seterusnya.

Dalilnya adalah sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada Fathimah binti Jahsy, “… akan tetapi tinggalkanlah shalat selama hari-hari yang biasanya kamu haid pada hari-hari itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah) 

  •  Perlu diketahui bahwa suatu durasi dikatakan dia sebagai adat dari wanita tersebut kalau durasi itu berulang selama tiga kali berturut-turut. Karenanya wanita yang pertama kali haid belum bisa diketahui berapa adatnya, sampai dilihat kapan darahnya keluar pada bulan pertama haidnya. Kalau pada bulan kedua dan ketiga, darah haid keluar pada waktu yang sama pada bulan pertama maka barulah dikatakan itu adalah adat haidnya, wallahu a’lam. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah, Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan Asy-Syaikh Muqbil -rahimahumullah-.  Tamyiz. Yaitu dengan memperhatikan darah yang keluar dari kemaluannya. Kalau yang keluar sesuai dengan ciri-ciri haid yang telah disebutkan di atas maka berarti dia sekarang terkena haid. Tapi kalau tidak sesuai dengan ciri-ciri haid maka berarti dia tetap suci walaupun ada darah yang keluar.

Dalilnya adalah sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada Fathimah binti Abi Hubaisy yang terkena istihadhah, “Itu hanyalah urat yang pecah dan bukan darah haid. Kalau darah haid sudah datang maka tinggalkanlah shalat dan kalau dia sudah berlalu maka cucilah darah darimu lalu shalatlah.” (HR. Al-Bukhari no. 306 dan Muslim no. 333)
Dalah hadits ini beliau menjadikan tanda datangnya haid adalah dengan datangnya darah yang sesuai dengan ciri-ciri haid.

Tanda Datang dan Selesainya Haid.
Datangnya haid ditandai dengan keluarnya darah hitam lagi busuk, pada waktu-waktu yang biasanya dia haid di situ.
Adapun selesainya haid, maka bisa diketahui dengan dua cara:

  • Keluarnya al-qashshah al-baidha`, yaitu cairan putih yang keluar dari kemaluannya di akhir masa adat haid.

Aisyah -radhiallahu anha- berkata kepada para wanita, “Janganlah kalian tergesa-gesa (mandi suci) sampai kalian melihat al-qashshah al-baidha`,” yang dia maksudkan adalah tanda suci dari haid. (HR. Malik hal. 59 dan Abdurrazzaq: 1/302)
  • Dengan al-jufuf, yaitu seorang wanita meletakkan kain katun atau yang semacamnya ke dalam kemaluannya, kalau kainnya kering maka berarti dia telah suci.


Durasi Minimal dan Maksimal Masa Haid.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu Al-Mundzir berkata, “Ada sekelompok ulama yang berpendapat bahwa masa haid itu tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika.” Selesai ucapan Asy-Syaikh.
Jadi, tidak ada durasi minimal dan maksimal masa haid, akan tetapi semua ini dikembalikan kepada adat kebiasaan seorang wanita. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci…” (QS. Al Baqarah: 222).
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukum (larangan menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya.
Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut. Ini adalah pendapat Ali bin Abi Thalib, Imam Malik, Maimun bin Mihran, Al-Auzai dan Daud Azh-Zhahiri, serta dikuatkan pula oleh Imam Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiah dan Ibnu Rajab.

Usia Minimal dan Maksimal Wanita Terkena Haid.
Tidak ada keterangan dari Al-Kitab dan As-Sunnah dalam masalah ini, maka yang benarnya dikembalikan kepada adat kebiasaan seorang wanita. Kapan ada darah yang keluar dari kemaluannya pada masa-masa yang biasanya dia haid di situ dan ciri-cirinya adalah darah haid, maka itu dihukumi sebagai haid, berapapun usia wanita tersebut.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Utsaimin berkata, “Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya. Para ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut?
Ad-Darimi, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dalam masalah ini, mengatakan: “Hal ini semua, menurut saya keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu”. Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.”
Ini juga adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Al-Mundzir, An-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahumullah

Pembunuh Dimaafkan Jika Berhasil Menghapal Al Quran


Ayah dari seorang pemuda Saudi yang dibunuh mau memaafkan si pelaku pembunuhan jika orang tersebut berhasil menghapal al-Qur`an, lapor koran setempat yang dikutip Al Arabiya.
Rabi’a Al Dousary ayah dari pemuda bernama Abdullah, berjanji akan memaafkan pelaku pembunuhan, Faisal Al Ameri, jika dia berhasil menghapal al-Qur`an sebelum meninggalkan penjara, lapor koran Al Yaum.
Ameri divonis hukuman mati karena membunuh Abdullah Al Dousary saat terjadi pertengkaran di lingkungan tempat tinggal mereka.
Pihak berwenang di Provinsi Tmur membujuk Rabia’a Al Dousary agar memaafkan dan mengampuni Ameri.
Ayah Abdullah tersebut, yang menolak menerima uang darah sebagai pengganti nyawa anaknya, memilih untuk memberikan pelajaran yang jauh lebih berarti kepada Ameri. Pemuda pembunuh putranya disuruh menghapal al-Qur`an jika ingin bebas dari hukuman mati, sebelum dikeluarkan dari penjara.


Selasa, 16 Oktober 2012

Tips Mendatangkan Jodoh


Bagi sebagian orang, pintu pernikahan adalah sesuatu yang sangat menakutkan. Ungkapan tersebut sebenarnya tidak terlalu berlebihan mengingat semakin banyaknya kasus yang meruntuhkan ikatan pernikahan saat ini. Ya, maraknya angka perceraian, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dan kasus lain yang sejenis membuat sebagian orang berpikir ulang ketika ingin memutuskan menikah. Bayang-bayang ketakutan sering kali menghantui. Wajar saja, karena setiap orang tentu tidak ingin pernikahannya hanya seusia jagung. Siapa pun pasti menginginkan bahtera pernikahan yang mereka bina bisa langgeng hingga maut memisahkan.

Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu termasuk yang mengalami hal di atas? Takut menikah karena khawatir tidak mendapatkan jodoh idaman?

Menikah bagi muslim merupakan penyempurna agamanya. Dan Rasulullah sebagai penyampai risalah Islam telah memberikan panduan bagi umatnya untuk mendapatkan jodoh idaman. Bagi kamu yang sudah siap menikah tapi bingung mencari cara agar mendapatkan jodoh idaman, simak panduan mulia yang telah dicontohkan Rasulullah berikut ini:


  •  Selalu berdoa

Allah selalu mendengarkan doa-doa hamba-Nya. Dia pun berjanji akan mengabulkan siapa saja yang berdoa kepada-Nya. Jadi, luangkan waktu di sepertiga malam terakhir. Bermunajatlah kepada-Nya. Mintalah petunjuk-Nya agar Dia Yang Maha Rahim mendatangkan jodoh terbaik untukmu.


  •  Mencari informasi melalui orang yang terpercaya

Jika kamu sudah siap menikah, kamu bisa mencari informasi mengenai sosok jodoh idamanmu melalui orang-orang yang terpercaya. Dalam hal ini Rasulullah pernah memberikan contoh. Beliau memerintahkan kepada siapa saja yang mengetahui adanya laki-laki yang shaleh ataupun wanita yang shalehah agar dikabarkan kepada siapa saja yang siap menikah. Artinya, seseorang hendaknya merekomendasikan laki-laki shaleh ataupun wanita shalehah kepada seseorang yang sudah siap menikah. Demikian halnya jika kamu hendak melamar seseorang, maka sebaiknya kamu mencari informasi tentang orang tersebut sehingga kelak tidak akan terjadi penyesalan.


  • Menawarkan diri pada orang yang shaleh

Pada zaman Rasulullah, wanita muslimah terbiasa menawarkan dirinya untuk dinikahi oleh laki-laki yang shaleh. Namun untuk menghindari fitnah, sebaiknya cara ini ditempuh dengan menggunakan perantara. Yakni melalui orang-orang yang amanah dan bisa dipercaya.


  •  Shalat istikharah

Shalat istikharah akan membantu kamu mendapatkan pilihan yang tepat.


  •  Menjaga kehormatan diri

Dalam Q.S An-Nuur: 26 Allah menjelaskan bahwa laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Demikian pula sebaliknya, wanita yang baik hanya untuk laki-laki yang baik. Jadi, jika kamu ingin mendapatkan jodoh idaman, laki-laki shaleh atau wanita shalehah, maka kamu pun harus menjadikan dirimu shaleh atau shalehah terlebih dulu. Hal tersebut bisa diwujudkan dengan senantiasa menjaga kehormatan diri, menjauhi hal-hal yang dilarang Allah. Termasuk terjerumus dalam aktivitas pacaran. Sebab Islam tidak mengenal pacaran. Namun jalan untuk memasuki pintu gerbang pernikahan adalah dengan ta’aruf (perkenalan) dan khitbah (lamaran). Dan hal tersebut harus melibatkan mahram agar tidak menimbulkan fitnah.