Sudah jelas dia tidak bisa melilhat. Dia buta. Rumahnya jauh dari mesjid. Sementara tak ada yang bisa menuntunnya. Jalanan Madinah kadang tidak aman karena banyak ular dan binatang lainnya yang berkeliaran. Maka Ibnu Ummi Maktum pun meminta izin kepada Rasulullah agar diberikan keringanan untuk shalat lima waktu di rumah saja. Awalnya Rasulullah mengizinkan. Tapi sejurus kemudian beliau bertanya: “Apakah kamu mendengar azan?”
“Iya, Rasulullah, saya mendengarnya” jawabnya.
“Kalau begitu tidak ada keringanan bagimu” tegas Rasulullah
Di saat lain, ada orang buta yang lain datang kepada Rasulullah mengadukan keadaan serupa. Rasulullah hanya bertanya, “Apakah kamu mendengar azan?”
“Iya, saya mendengarnya, wahai Rasul”
“Kalau begitu sambutlah seruan itu”
Berdasarkan dari dua hadits itu, yang didukung oleh...
beberapa hadits lain, beberapa ulama, seperti Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah, berpendapat bahwa shalat berjamaah hukumnya wajib, fardhu ain bagi setiap orang. Sebab orang buta saja disuruh datang untuk menghadiri jamaah. Begitu juga ketika perang. Allah masih memerintahkan untuk melaksanakan shalat secara berjamaah (sebagaimana disebutkan dalam Al Quran Surah An Nisa: 102.). Kalau bukan karena hukumnya wajib, maka Allah tidak sampai memerintahkan untuk shalat berjamaah dalam keadaan kacau seperti itu. Ketika keadaan stabil, tentu perintahnya lebih wajib lagi.
beberapa hadits lain, beberapa ulama, seperti Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah, berpendapat bahwa shalat berjamaah hukumnya wajib, fardhu ain bagi setiap orang. Sebab orang buta saja disuruh datang untuk menghadiri jamaah. Begitu juga ketika perang. Allah masih memerintahkan untuk melaksanakan shalat secara berjamaah (sebagaimana disebutkan dalam Al Quran Surah An Nisa: 102.). Kalau bukan karena hukumnya wajib, maka Allah tidak sampai memerintahkan untuk shalat berjamaah dalam keadaan kacau seperti itu. Ketika keadaan stabil, tentu perintahnya lebih wajib lagi.
Sebagian ulama lain menyatakan bahwa hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), karena menganggap bahwa perintah dalam hadits-hadits tersebut sifatnya anjuran yang seharusnya dilaksanakan.
Apapun pendapat para ulama, dalam shalat berjamaah terkandung manfaat yang sangat banyak. Di situlah seorang hamba bisa lebih khusyu dalam perjumpaan dengan Tuhannya. Ganjaran pahalanya lebih berlimpah. Belum lagi manfaat sosial yang begitu banyak; menguatkan shaf dan jalinan kekeluargaan, manfaat psikologis berupa ketenangan hati dan kepuasan yang luar biasa dan beragam manfaat lainnya. Yang jelas shalat berjamaah untuk shalat lima waktu lebih baik dari pada shalat sendiri.
Inilah yang sangat dipahami oleh Sa’id bin Musayyib, seorang alim yang berasal dari Madinah. Tabiin yang menjadi menantu dari sahabat Rasulullah Abu Hurairah r.a. ini senantiasa menjaga shalat berjamaah. Selama enam puluh tahun, ia tidak pernah sekalipun ketinggalan takbiratul ihram. Bukan hanya menjaga shalat berjamaah, ia bahkan tidak pernah masbuk dalam kurun waktu enam puluh tahun itu. Shalat lima waktu sehari semalam ia laksanakan seluruhnya dengan berjamaah di mesjid.
Ingin sekali saya menirunya. Tapi ternyata itu tidak semudah saya bayangkan. Di hari pertama mungkin masih bisa lengkap shalat berjamaah di mesjid dan tidak masbuk. Di hari kedua, masih lengkap tapi ada yang masbuknya. Di hari ketiga, shalat dhuhur dilakukan sendiri di akhir waktu karena masih ada meeting. Di hari keempat, isya nya yang ketinggalan karena ketiduran. Besoknya shubuhnya yang kesiangan. Oh alangkah lemahnya diri untuk tetap disiplin melaksanakan perintah Allah dengan sebaik-baiknya.
Ingin sekali seusai shalat isya saya bisa bergembira ria dengan menyatakan kepada diri sendiri “Alhamdulillah, hari ini shalat berjamaah di mesjid saya lengkap dan saya tidak masbuk satu shalat pun” Sejak lama sekali diri ini menunggu ungkapan yang indah itu. Berharap bisa seperti Sa’id bin Musayyib walaupun dalam waktu tiga hari berturut-turut saja. Namun kesempatan indah itu tak kunjung datang. Bagaimana lagi mau bertahan disiplin selama enam puluh tahun.
Dalam sebuah hadist qudsi disebutkan, Allah Swt. akan sangat senang bila didekati melalui apa-apa yang Dia fardhukan (wa maa taqarraba illayya ‘abdun ahabbu illayya mnimmaftaradhtuhu ‘alaihi). Kalau ingin menjadi hamba yang taat dan baik, maka pertama-tama adalah berusaha memperhatikan perintah-perintah yang wajib dulu. Berusaha menyempurnakan yang wajib, baru melaksanakan amalan-amalan sunnah. Artinya amalan wajib itu yang menjadi perhatian yang utama. Di padang mahsyar nanti, saat hari pertanggungjawab, urusan shalat adalah yang mula-mula ditanyakan. Bila shalat baik maka seluruh amalan akan turut menjadi baik.
Semoga kita bisa melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Masih belum terlambat. Disiplin itu bisa dimulai sejak hari ini.
SUMBER: